[32.Remember]

20 4 11
                                        

***
.

.

Vella sama sekali tak pernah memberi tahu Lala, bahwa ia ingin lebih dari sekedar memanfaatkan Satria, melainkan ingin membuat pria itu lenyap dari muka bumi. Vella tahu Lala setengah mati menyukai Satria, karena itu ia memberikan kebebasan sejenak, sebelum ia melakukan hal keji itu.

Amanda memandang dirinya di pantulan cermin dan memasang lipbalm nya secara hati-hati,
"Si Chintiya itu selalu pergi kerumah sakit dimana bokap gue berkerja setiap dia trauma."

"Terus?" tanya Vella yang ada disampingnya sambil melipat kedua tangannya didepan dada.

"Kenapa dia gak sekalian mati aja sih?" keluhnya.

Vella mengernyit,
"Bukannya lo pernah ngomong lo yang mau bikin dia mati?"

"Gue udah coba dua kali, tapi temen temennya gak ninggalin dia sedetik pun kalo masuk rumah sakit."

"Amanda, kapan sih lo bisa berubah dan mikir rencana tuh secara mateng-mateng? Lo bisa dilaporin ke polisi, dan lo bahkan gak terima kasih sama gue yang udah bantuin lo nutupin masalah lo, Marshel, sama Rayhan kemaren."

Vella kesal, jika ingin menghacurkan persahabatan seperti yang Amanda inginkan, bukan begini caranya. Tapi tak masalah, Amanda dan Lala itu bodoh. Yang penting Vella menginginkan apa yang ia inginkan tanpa dicurigai dua orang bodoh yang ia anggap partner dari rencana-nya.

Amanda menghela nafas,
"Ok, fine. Asal gue dapet kehancuran persahabatan mereka, dan Lala dapet Satria, Lo juga bakal dapet yang lo mau, yaitu kak Rayhan."

Vella tersenyum sumringah,
"Tentu saja, itu deal kita."

Rayhan. Ia memang menyukai Rayhan, namun yang lebih ia inginkan dari semua kejahatannya dalam menginjak kelas 10 SMA ini, hanyalah pembalasan dendam kepada Satria, atau mungkin mengakhiri hidupnya didepan matanya.

Vella itu lebih gila dibandingkan Amanda yang lebih sering membuat ulah.

.

.

"Anggia tunggu!"

Anggia mengumpat dalam hati, Damn, kenapa dia ngikutin gue sih? Keliatan banget seolah-olah gue yang salting. Apa pura pura gak ketemu aja pensilnya dibawah meja?

Anggia memegang kenop pintu kelas dan membukanya lebar, seketika ia tertawa renyah.

"Ini yang kedua kalinya kita ketemu dikelas pas pulang sekolah yah, Amanda?"

Amanda memandang kesal Anggia. Lalu Anggia melirik orang disampingnya Amanda, Vella.

"Oh, tuan Putri juga ada disini?"

Vella dan Amanda bernapas lega dalam hati, Anggia tak mendengar obrolan mereka daritadi. Kalau ia mendengar hal tersebut, ia pasti sudah nge-gas daritadi.

Vella hanya merespon memutar bola matanya malas sebagai respon. Daniel memberhentikan langkahnya saat Anggia ikut berhenti,
"Temen lo?"

Anggia tertawa pelan dan menggeleng kepalanya,
"Perkenalkan mereka, Niel. Yang rambut pirang itu pernah nyewa om om buat nyulik Marshel dan hampir ngebunuh, terus dia yang ngurung Andina dikamar mandi pas pulang sekolah, Jadi perusak hubungan kak Rayhan sama Marshel, dan..dia korban bullying gue dulu. Pengen nonjok sekarang, tapi diri gue bukan gue yang dulu yang suka pakek kekerasan. Apa dia bisa dibilang teman? Rasanya lucu kalo disebut gituan."

Amanda meletakkan kaca kecil yang ia pegang keatas meja, dan melipat kedua tangannya didepan dada, dagunya sedikit terangkat, terkesan menantang.

"Lo gak nyadar orang samping lo itu korban lo juga?"

Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang