[21.BlankPaper]

26 2 0
                                    

.

.

Acara tahunan sekolah berakhir pada jam itu, ditutupi dengan berbagai kata penutup dari MC yang merupakan kelas sepuluh, karena pada acara ini tidak ada yang kelas sepuluh tidak melakukan berbagai tugas untuk acara tahunan kali ini.

Hari ini banyak yang terjadi, seperti saat ini. Tiba-tiba ponsel Nina berdering saat ia ingin pergi ke kantin bersama Andina, ia merogoh ponsel-nya dan mengernyit heran saat menampilkan nama 'Chintiya' dilayar ponsel-nya.

Bukankah gadis itu sedang bersenang-senang bolos bersama Vina diluar sekolah? Untuk apa menelpon?


Nina menggeser tombop berwarna hijau untuk menerima panggilan itu.

"Halo Chin?"

"Halo! Maaf menganggu. Tapi ini sebenarnya kak Alan."

"Kak..Alan?"

"Maaf pasti lo nggak kenal kakak. Ini nama kontak lo ada dipaling atas panggilan terakhir Chintiya, jadi langsung gue telfon aja."

"Chintiya tiba-tiba pingsan, ia sudah ada dirumah sakit. Bisa nggak lo dateng pas sudah acara-nya selesai? Kata dokter dia baik-baik aja, udah sadar juga. Jagi gak usah terlalu panik."

"Kata dokter dia cuma ke-capek-an, terus, kata-nya dia ada trauma?"



"Te..terus Chintiya-nya gimana? Habis sadar dia baik-baik aja kan kak?" Tanya Nina.

"Dia..baik-baik aja. Disini juga ada Vina sama Riko."

"Iya, iya! Tolong ya kak, jaga Chintiya sampe kami kesitu. Mohon bantuannya." Ujar Nina dengan nada khawatir.

"Iya, tenang aja."




Tuttt~



Nina memasukkan kembali handphone-nya ke saku. Ia menghela nafas panjang dan memijit sedikit kening-nya yang mengkerut.

"Kenapa?" Tanya Andina penasaran karena Nina sempat mengucapkan nama, 'Chintiya'.

"Dia kambuh lagi. Tapi baik-baik aja, untung ada kak Alan." Jawab Nina lalu kembali melanjutkan langkah-nya yang sempat tertunda.

Andina mengikutinya sambil terus bertanya,
"Mereka kemana sampe bisa Chintiya kambuh?"

Chintiya sudah pernah menceritakan soal trauma-nya dengan mereka bertujuh setelah Anggia dan Vina menangkap basah dirinya karena minum obat diruangan kamarnya yang gelap seperti orang depresi.

Setelah menceritakannya, mereka bertujuh tahu bahwa Chintiya tak bisa mendengar suara pecahan kaca, dan juga tak bisa mencium bau rokok. Baginya, hidupnya sangat tersakiti. Walau, ia tahu bahwa Anggia sudah berubah, dan takkan menyakiti-nya lagi, Tetap saja, masa lalu kembali menghantui-nya.

"Gak tau. Intinya habis acara selesai, kita kesana."





.

.

Di parkiran motor, tepat saat acara selesai, sebuah kerumunan memenuhinya. Membuat mereka bertujuh yang berjalan bersama, bingung.

"Marshel, gue liat dulu ya keadaan disana, gue penasaran." Ujar Ria kepada Marshel yang tengah memundurkan motornya.

Marshel menaikkan kaca helm-nya.
"Iya, jangan lama-lama."




"Gue ikut!" Ujar Nina dan Andina secara bersamaan saking kepo-nya.

.

"Permisi." Ujar Andina kepada ramai-nya kerumunan itu untuk menerobos kedepan.

Andina membelalakkan mata-nya, diikuti dengan terkejutnya Ria dan Nina.


Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang