[9.Mood]

41 7 10
                                    

.

.

Seorang gadis berdiam diri dikamarnya. Suasana kamarnya hening dan gelap. Dirinya diam menatap kekosongan didepannya.

Prangg

Suara pecahan botol itu selalu terngiang dikepalanya. Tubuhnya tersungkur diatas kasur yang ia duduki, badan mungilnya menelungkup diatas kasur. Hawa dingin menusuk tubuhnya. Kepalanya pusing dan dadanya sesak. Matanya mulai berkaca. Dan tangannya meraba raba laci disampingnya. Mencari sesuatu berbentuk tabung putih.

Lalu saat ia mendapatkannya, susah payah ia mendudukkan dirinya dan membuka tabung tersebut. Mengambil beberapa pil didalamnya dan menelannya.

"Hah..hah.."

Gadis itu yakin, dokter itu salah. Penyakit di dirinya bukan hanya sesak nafas, bukan sekedar karbon dioksida yang menyeluruh di paru paru-nya. Ini tentang trauma. Ini tentang depresi. Ini tentang ingatan.

"Hei, Mira! Kau harus isap rokok ini, oke? Atau kupukuli kau nanti sekolah? Yaya?"

"Ti..tidak!"

Wajahnya berubah jadi datar dan menyeramkan.
"Apa? Kau ingin tubuhmu patah semua?"

Gadis itu takut. Ketakutan setiap mengingatnya.

Prangg!

Botol itu pecah tepat diatas kepalanya dan darah mengalir dikeningnya. Matanya sayu ingin pingsan. Rasanya sakit sekali.

Gadis tadi melemparkan pecahan botolnya ke arah lain dan menjongkokkan dirinya. Menatap tajam gadis dengan darah dikeningnya.

"Makanya, yah.. kalo gue suruh jangan nolak, okay?"
















Tangannya bergemetaran dan tangis mengucur dipipinya. Sebuah cahaya muncul diujung kamarnya, pintu itu berderit pelan.

"Chin..tiya?"

Chintiya menyeka air matanya dan berjalan menuju sakelar lampu dan menghidupkan lampu-nya.

"TIYAKKK!! EH--?"

"Loh..Vina?" Tanya Chintiya.

Anggia mengulum senyumnya,
"Iya. Kami datang berdua tadi."

Vina segera melongos masuk kedalam kamar Chintiya tanpa peringatan dan menghentikan langkahnya saat sampai ditempat tidur Chintiya. Tangannya gesit mengambil sebuah tabung kecil dan membukanya.
"Sejak kapan lo jadi minum obat-obatan begini?!" Sentak Vina lalu menoleh ke-arah Chintiya. Mencari jawaban dimata hitam pekatnya.

"Eh? Cuma obat pusing kepala, kok."

"Walaupun begitu kan lo bisa ketergantungan obat! Dosisnya banyak begini bukan lagi obat pusing! Apalagi kamar lo tadi gelap, lo kayak orang depresi aja! Pertama kali kerumah lo yang gue liat ini?!!"

Anggia menghampiri Vina dan menenangkannya.
"Sudahlah, Vin."

Walaupun begitu ada sesuatu yang mengganjal dihatinya. Rasa penyesalan. Ia menolehkan pandangannya ke Chintiya, dan Chintiya mengalihkan pandangannya ke-arah lain.

Vina memelaskan tubuhnya dan melentangkan badannya diatas kasur Chintiya.
"Maaf, Chin. Maaf gue udah terlalu lancang. Seharusnya lo sih, kalau ada apa apa cerita ke kita kita. Jangan dipendem, gitu. Walaupun ada Anggia disini, lo seharusnya lebih terbuka dan nyelesain masalah kalian berdua donk!"

"Eh?" Chintiya kaget mendengarnya bagaimana wanita itu bisa tahu.

"Mungkin, diri lo sekarang karena gue, kan?" Tanya Anggia.

Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang