Choise

1.9K 99 0
                                    

Ev menyentuh bahu kedua makhluk yang masih terlarut dalam emosi itu. Daniel dan Luna tersentak saat sebuah tangan menyadarkan aktifitas mereka.

"Mereka sudah pergi," kata Ev pelan. Daniel dan Luna tertegun sejenak sebelum akhirnya mereka tersadar kembali dan melepaskan pelukan. Luna kemudian berlalu dari tempat itu tanpa mengucap sepatah katapun. Kepalanya tertunduk kecewa. Tentu saja ini sangat merusak harga dirinya. Keinginan Matt yang benar-benar tak masuk akal sehingga memaksanya melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan prinsip hidupnya.

Dan anehnya, kenapa saat berciuman dengan Daniel, dia justru malah terlarut oleh keadaan seakan tak mau mengakhiri hal konyol itu. Sungguh Luna merasa malu sekaligus muak pada dirinya sendiri yang kalah oleh gairah yang di tebarkan pria tersebut.

Daniel hendak menyusul kepergian Luna. Dia ingin minta maaf atas kejadian tadi. Karena pastinya sudah bisa di tebak, bahwa pria itu begitu berhasrat penuh atas wanita yang saat ini mulai merubah kehidupannya.

Namun belum sempat Daniel melangkah, Ev sudah mencegahnya lebih dulu.

"Biarkan dia pergi!" cegah Ev pelan.

"Tapi Ev, aku--,"

"Dia perlu menenangkan diri, Daniel. Tenanglah. Kau tak perlu cemas. Aku akan menemaninya. Saat ini, mungkin sebaiknya kau juga kembali," Ev memberi solusi sesuai pikirannya. Daniel tak bisa berbuat apapun selain mengerdikkan kedua bahunya.

"Yach, mungkin kau benar. Aku, harusnya juga segera pergi dari sini," ujar Daniel lemah.

"Maaf, bukan maksudku mengusirmu."

"Ohh, tidak masalah. Aku mengerti. Baiklah. Aku harus pergi. Dan Lunaa, aku minta kau jaga dan temani dia."

"Tentu."

Daniel kemudian angkat kaki dari tempat itu.

* * * *

Di tempat lain....

Matt memasuki sebuah rumah yang berdominasikan warna biru laut. Itu adalah warna kesukaannya. Dengan enggan dia membuka pintu yang kebetulan tak terkunci. Seorang pelayan datang dan membungkuk hormat.

"Tuan, anda sudah kembali?" sapa pelayan itu dan melempar senyum bahagia.

"Mana wanita itu, Alma?" tanya Matt tanpa memperdulikan sapaan pelayannya. Matanya mengedar ke seluruh ruangan. Belum sempat pelayan itu menjawab, tiba-tiba seorang anak laki-laki lucu dan tampan berlari kearahnya.

"Pappiìi...." teriak anak itu lalu meloncat seketika dalam pelukan Matt. Matt menggendong anak itu segera.

"Bagaimana kabarmu, Sayang?" tanya Matt sambil tersenyum.

"Baik papi. Papi sendiri bagaimana? Kenapa lama nggak pulang? Jimmy rindu papi," anak itu merajuk.

"Maafkan papi Jimmy. Papi banyak pekerjaan." Matt mengelus pipi anaknya penuh kasih. Ya, seperti apapun kesalahan ibunya, tak akan mengubah kedudukan seorang anak. Bagaimanapun juga Matt mengakui kalau dia menyayangi Jimmy. Walaupun kenyataan yang menyesalkan kenapa Jimmy harus terlahir dari rahim Jane dan bukannya Luna, wanita yang sangat di cintainya.

Seorang perempuan berambut ikal muncul dari balik pintu.

"Matt, kau datang?" serunya antara bahagia dan tak percaya.

"Jimmy, papi ingin bicara dengan mamimu sebentar." Matt lalu menurunkan anak tersebut dari gendongan, kemudian tak lupa ia memberikan sebuah kecupan di pipi chubbynya.

"Kapan kau datang, Matt? Kenapa kau tak memberitahuku lebih dulu? Aku bisa membuatkan makanan kesukaanmu. Tunggulah di sini kalau begitu, aku akan memasak untukmu," kata Jane dan hendak melangkah pergi. Namun Matt dengan cepat meraih tangan Jane.

You are Mine (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang