Luna tak mampu lagi membendung air matanya. Semakin ia berusaha menguatkan diri, semakin ia tersakiti. Dan berkubang air mata adalah pilihan yang tepat untuk membunuh perih luka yang tengah menderanya.
"Luna, Luna, berhentilah menangis! Lihatlah dirimu sekarang? Kau tampak menyedihkan. Mana temanku yang selalu kuat dan tegar? Mana Luna yang selalu bijak menyikapi masalah?" Ev mengguncang tubuh sahabatnya yang bersimpuh di lantai tanpa alas kaki. Gadis itu tentu saja sangat prihatin melihat kondisi Luna yang demikian.
"Aku benci semua ini, Ev. Aku benci! Kenapa Daniel berbuat seperti ini padaku?" Luna meratap pedih. Matanya merah dan bengkak.
"Aku tahu ini sulit untukmu, Moon," Ev mencoba menenangkan. Mengusap lelehan air mata yang berserakan di wajah Luna. "Tapi kau jangan lupa, kalau semua ini merupakan keputusanmu juga. Kau yang memulai semuanya, Luna. Dan seperti inilah akibatnya."
"Aku tahu. Aku tahu, ini adalah sebagian dari salahku. Aku yang membuat perjanjian itu. Tapi bukankah semua bisa di bicarakan kembali? Dan tidak harus seperti ini?" Luna tersedu. Isakannya kuat menghantam batin dan menyiksa seseorang yang mendengarnya.
"Jadi sekarang katakan padaku, apa yang kau rasakan?" Ev menatap Luna, dalam. Meminta kejujuran pada sosok teman karibnya yang selama ini cenderung menjaga gengsi dan harga dirinya. "Jawab pertanyaanku, Luna. Kau mencintai Daniel, bukan?"
Luna menggeleng perlahan. Isak tangisnya seakan tertelan oleh pertanyaan Ev yang ringan namun mampu membuatnya terbungkam. Kenapa? Kenapa selama ini ia tak menyadari hal itu? Cinta. Benarkah ia sudah jatuh cinta pada Daniel?
"Moon, katakan padaku! Apa kau mencintai Daniel?" Ev mencengkeram lengan Luna. Memaksa wanita itu mengatakan isi hatinya.
Luna melepaskan diri, dan mengambil langkah mundur. Mulutnya terbungkam tertutup oleh telapak tangannya. Tidak. Luna tidak bisa menjawab pertanyaan itu?
"Akui lah, Moon, kalau kau mencintai Daniel. Jangan mengelak lagi dari kenyataan!" Ev mendesak dengan mengambil langkah ke depan. Matanya tak lagi menyiratkan persahabatan yang selama ini mentoleransi keputusan temannya. Kali ini berbeda. Ev ingin Luna jujur. Bukan hanya pada dirinya. Tapi juga perasaan Luna sendiri. Ev tahu sahabatnya itu sudah jauh berubah. Dari sosok dingin dan angkuh, kembali menjadi wanita ceria dan hangat. Namun kali ini yang diinginkan Ev adalah Luna mau jujur pada dirinya sendiri. Mengakui kebenaran perasaan yang sudah tumbuh tanpa ia ketahui sebelumnya.
"Ayo, Luna. Katakan! Akuilah kalau kau mencintai Daniel suamimu," sekali lagi Ev mengulang kalimatnya.
Luna tak bisa menghindar. Tubuhnya terpojok pada dinding. Wanita itu masih teguh diam dalam kebisuan. Bahkan tak terdengar lagi isak yang sesaat lalu menyayat hati siapapun orang yang mendengarnya.
"Ev, aku--," entah mengapa kalimat wanita itu seakan tercekat di kerongkongan. Kering tenggorokannya sehingga tak mampu meloloskan kalimat sederhana yang ingin ia ucapkan. Seakan pasokan saliva yang ia punya tertelan habis oleh keringnya kemarau yang tiba-tiba berpendar di seluruh tubuhnya.
"Jawab, kalau kau mulai mencintai Daniel, Luna. Kau sudah terbiasa dengannya sampai kau tak menyadari perasaan itu bukan?"
Benar. Apa yang di katakan Ev barusan memanglah benar. Kali ini Luna mengakuinya meski dalam hati.
"Dan sekarang, kau tak punya pilihan lain selain menyerahkan hatimu pada cinta itu atau kau sendiri yang akan terluka, Luna sayang."
"Tapi Ev, Daniel--,"
"Masih belum terlambat. Asal kau tidak menandatangani surat itu, maka kalian masih sah sebagai suami istri. Dan satu hal lagi Luna, mungkin Daniel membuat keputusan demikian karena dia masih belum tahu perasaanmu yang sebenarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
You are Mine (END)
RomanceLaluna de Claudia, seorang wanita cantik, seksi, menarik, namun jauh dari kata ramah. Tak ada senyum di bibirnya meski setumpuk kebahagiaan menaungi. Dia seorang direktur utama di sebuah perusahaan Star Company. Dan di usianya yang ke-30 ini, dia ma...