Rasanya masih canggung berinteraksi dengan Gerald sehingga aku memutuskan pergi dan duduk santai di ayunan belakang rumah. Kau pasti tahu kan, rasanya seperti ada yang aneh di dalam tubuhmu saat berada dalam situasi yang aneh bersama orang yang aneh. Ah entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik mengenai perasaanku saat ini.
Suara guyuran air di kamar mandi bisa terdengar jelas dari sini. Gerald sedang mandi, pikirku. Setidaknya aku tak perlu merasa cemas sendirian di rumah karena ada temannya nanti malam. Kulihat langit mulai mendung dan dengan cepat berubah menjadi kelabu seutuhnya. Sepertinya hari ini akan buruk.
"DEK DILUAR GERIMIS NGGAK?" Teriak Gerald dari dalam kamar mandi.
"Enggak, mendung aja gak pake gerimis."
"OH YAUDAH ABIS INI KITA KE PAK RT KEBURU UJAN YA."
"Iya, gausah teriak Kak gue bisa denger," seruku.
Aku berlari kecil menuju kamar untuk berganti pakaian. Satu pakaian yang pantas untuk dipakai bertandang ke rumah Pak RT tentunya. Cukup lama aku memandangi isi lemariku yang biasa saja. Akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada celana jins panjang berwarna biru dan kaos putih lengan panjang ada gambar kepala robot kecil di kiri atas. Rambut pendekku kubiarkan tergerai. Kenapa jadi seperti mau kencan sama Pak RT ya?
Ada suara ketukan di pintu kamar. Mungkin Gerald sudah siap. Saat aku membuka pintu, aku sedikit terkejut karena ia berpakaian rapi bahkan terlalu formal hanya untuk melapor ke Pak RT. Bayangkan saja ia memakai kemeja hitam, celana kain yang tampak pas dan tidak kedodoran, serta rambut berpomade dan wanginya maskulin sekali.
"Kok pake baju formal gini Kak?"
"Gapapa. Gue adanya ini yang paling atas di tas. Ribet kalo bongkar sampe kebawah."
"Yaudah deh. Ayo."
Setelah mengunci pintu, aku berjalan beriringan dengan Gerald ke rumah Pak RT yang tidak terlalu jauh. Rumahku berada di desa jadi tentu saja penampilan Gerald yang seperti ini akan mengundang rasa penasaran warga. Sebenarnya aku sekeluarga bukan penduduk asli sini, orang tuaku pindah ke kota ini karena pekerjaan. Lalu memutuskan tinggal di desa, agar pikiran tenang katanya. Beberapa tetangga yang berkumpul di depan rumah Bu Titin menyapaku
"Mbak Diandra, ada tamu?"
"Nggih Buk. Teman saya"
Aku memang menggunakan bahasa campuran di sini. Selain untuk menghormati yang lebih tua, aku juga berdarah Jawa tulen sehingga untuk berbicara pada keluarga ayahku, terutama nenek dan saudara-saudara ayah aku diajarkan berbicara menggunakan krama inggil.
"Mari Bu," sapa Gerald ramah.
Kami berjalan beriringan lagi. Melihat Gerald yang ramah kepada tetangga membuatku tenang. Kurasa Gerald bisa beradaptasi dengan cepat di sini. Sambil tetap berjalan, aku memberanikan diri bertanya pada Gerald.
"Kakak asli mana sih?"
"Jakarta. Kenapa?"
"Kok wajahnya agak bule gitu?"
"Ah engga. Putihnya doang kali. Gue chinese sih. Tapi mata ga sipit-sipit amat ya kan? Haha"
"Ih iya kalo dilihat lebih deket. Kok bisa temenan lama sama Mas Wildan sih?"
"Kan temen satu band. Gue SMA pindah ke sini terus tetanggaan sama Wildan. Akhirnya sahabatan sampe sekarang."
"Oo gitu."
Percakapan kami terhenti saat sudah dekat dengan rumah Pak RT. Setelah selesai mengurus izin tinggal di lingkungan ini, kami mohon pamit untuk pulang. Aku sendiri baru tahu nama lengkap Gerald saat ia menyerahkan fotokopi KTPnya tadi. Namanya Geraldy David Sebastian. Untuk kalian yang penasaran bagaimana rupa Gerald, aku akan mencoba menggambarkannya.
Tingginya sekitar 175 cm. Dibandingkan aku yang 155 cm, aku hanya sepundaknya. Tubuhnya cukup berisi tapi tidak gemuk. Cukup atletis untuk ukuran mahasiswa seperti dia. Rambutnya terawat, sering dipakaikan pomade untuk menjaga penampilan. Kulitnya putih dan bersih. Matanya tidak terlalu sipit, hidungnya mancung kalau dibandingkan aku yang pesek ini. Bibirnya tipis berwarna merah muda. Kalau secara keseluruhan, aku malah membayangkan ia seperti Lee Min Ho. Singkatnya, Gerald cukup tampan untuk menjadi housemate sampai abangku datang.
Setelah memasukkan mobilnya ke garasi, Gerald bergabung denganku untuk makan malam. Kami bercerita tentang diri kami masing-masing secara singkat, hitung-hitung sebagai perkenalan. Hingga akhirnya..
Pet. Listrik mati.
Tak hanya sampai disitu, hujan perlahan turun dan semakin deras. Apa yang kutakutkan terjadi. Aku selalu takut dengan suasana sepi, hujan, dan gelap. Sekarang semua menjadi satu, aku cemas dan mulai panik. Jantungku berdebar lalu ingatan-ingatan buruk trauma masa kecilku muncul. Lama-lama aku terisak dan menangis. Seberkas cahaya dari handphone menerangi wajahku.
"Loh kok nangis? Kenapa?"
"Takut Kak. Gue takut hujan sama gelap kaya gini."
"Gausah takut, ada gue disini. Lo gak ada lampu portable?"
"Engga. Tapi ada lilin di laci lemari tengah."
"Lemari itu? Gue ambil lilin dulu, lo tunggu sini."
"Enggak mau, ikut."
"Yaudah ayo."
Gerald menggenggam tanganku dan membawaku mengambil lilin di lemari. Setelah mencari dengan sedikit usaha, akhirnya ia menemukan. Dinyalakannya lilin tadi sehingga cahayanya cukup untuk menerangi sekitar.
"Loh kok masih nangis? Haha, malu ah udah gede nangis."
"Gimana kalo listriknya mati sampe malem? Handphone gue lowbat."
Aku sedikit panik saat tahu baterai handphoneku melemah.
"Santai aja. Kalo ada apa-apa pake handphone gue kan bisa. Abang lo nitipin lo ke gue, jadi gue harus tanggung jawab sama lo apapun yang terjadi."
"Makasih."
Dari sore hingga malam aku mengekor kemanapun Gerald pergi. Akhirnya kami memutuskan untuk berdiam diri di ruang tamu sampai listrik menyala. Untuk mengusir kebosanan, Gerald memutar film di laptop untuk ditonton bersama. Kami nonton film yang baru rilis beberapa bulan lalu. Tapi nonton film tak mengusir kantukku. Aku tertidur di sofa saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?