Minggu ini aku berangkat ke Semarang bersama Gerald untuk meminta restu pada orang tuaku. Sebenarnya hanya formalitas karena begitu mendengar semua dari telepon kemarin, orang tuaku sudah sangat menyetujuinya. Aku naik kereta dengan Gerald dan menempuh beberapa jam perjalanan hingga akhirnya sampai di tujuan.
Seorang supir mengantar kami dari stasiun menuju kediaman nenekku yang juga ditempati ayah dan ibuku saat ini. Rumahnya masih sangat asri dan sejuk. Aku berencana hanya satu hari di sini lalu terbang ke Jakarta besok untuk menemui ayah Gerald di sana.
Kami datang disambut senyuman ayah dan ibuku di teras. Gerald mencium tangan kedua orang tuaku lalu membantuku membawa koper untuk dimasukkan ke dalam rumah. Ia menempati kamar yang bersebelahan dengan kamarku. Tapi entah mengapa dari tadi aku belum melihat Eyang Putri -begitu aku memanggil nenek.
"Ma, Eyang kok gak kelihatan kemana?"
"Masih jalan-jalan sama suster. Kalian berdua ayo ikut Mama ke taman belakang. Papa udah nunggu,"
Aku melirik Gerald yang berdiri canggung tak jauh dariku dan mengisyaratkan agar mengikuti ibuku. Aku tahu ia sedikit gugup berada di depan orang tuaku.
Beriringan bersama Gerald aku mengikuti ibuku ke belakang rumah. Disana ada gazebo kecil untuk bersantai bersama keluarga. Aku menggandeng Gerald untuk duduk bergabung bersama ayah dan ibuku.
"Duduk, jangan gugup gitu Papanya Diandra emang suka berlagak pasang wajah garang."
Aku tertawa kecil mendengar ibuku mencoba menenangkan Gerald. Saat ku toleh, kekasihku itu justru tertawa canggung dan segera duduk di depan ayahku dengan aku berada di sampingnya.
"Begini Om," kata Gerald setelah menarik napas dengan gugup. Ayolah ini belum lamaran secara resmi yang dihadiri kedua pihak keluarga.
"Panggil Papa aja biar kaya Diandra," kata ayahku sambil tersenyum.
"Iya, begini Pa.. saya Geraldy, ingin meminta izin dan restu dari Papa untuk meminang Diandra segera setelah saya menjadi mualaf nanti."
Aku ikut berdebar-debar menanti jawaban ayahku meski sebenarnya aku sudah tahu. Tetap saja, hal ini pasti selalu terjadi.
"Lalu kapan tepatnya kamu akan menjadi mualaf?"
"Setelah pulang dari sini saya akan menemui ayah saya dan mengunjungi makam ibu saya. Baru setelah itu saya akan mengislamkan diri. Selama ini saya banyak belajar dari ustadz dan Diandra juga membantu saja. Maka setelah saya rasa cukup bekal, saya akan segera mualaf Pa."
"Baik, lalu mengapa kamu mau menikahi Diandra putri kami?"
"Jujur Pa, saya gugup saat ini. Bingung mau mengatakan apa di depan ayah wanita yang saya cintai. Dari awal saya bertemu Diandra saya selalu menginginkan dia menjadi yang terakhir bagi saya, untuk mendampingi saya hingga tua nanti.
"Saya disini meminta izin dari Papa untuk melamar Diandra secara langsung. Saya meminta doa dari Papa dan Mama untuk hubungan kami. Saya serius ingin menikahi dan hidup bersama putri Papa. Saya ingin menjadikan dia sebagai satu-satunya wanita yang saya cintai."
Tuhan tolong aku agar tak menangis haru saat ini.
"Diandra adalah putri kesayangan saya. Dibesarkan dengan kasih sayang berlimpah namun malah menjadikan dia manja, cengeng, dan semaunya. Kamu bisa mengubah wataknya?"
Aku terkejut mendengar ayahku menjelek-jelekkan diriku di depan Gerald. Apa-apaan ini?
"Papa kok gitu sih?"
"Diam Diandra, Papa bertanya kepada calon suami kamu."
Aku mengerucutkan bibir karena sebal. Saat ku tengok Gerald, ia tampak tenang dan menatap ayahku dengan yakin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?