18

46 7 0
                                    

"EH TUTUP BOTOL NGAPAIN LO PELUK ADEK GUE DI RANJANG. BANGSAT LO SEMALEM NGAPAIN AJA?"

Aku terbangun mendengar teriakan Mas Wildan dan terperanjat kaget saat tahu aku tertidur dengan posisi meringkuk dipelukan Gerald. Segera aku melepaskan diri saat melihat tatapan marah Mas Wildan. Gerald juga sama kagetnya karena telah tidur dengan memelukku.

Aku hanya menatap takut saat Mas Wildan menghampiriku dan menarik tanganku. Ia benar-benar kalap saat tahu aku tidur seranjang dengan Gerald. Huh aku kan tidak melakukan apapun semalam. Gerald hanya meringis sambil menjelaskan yang terjadi pada Mas Wildan. Untung saja ia bisa menerima penjelasan.

Tatap mata Mas Wildan beralih ke arahku. Ia meminta penjelasan terkait aku yang pingsan kemarin sore.

"Gue abis beli bapao terus ketemu Elian. Abis itu kita ngobrol dikit tau-tau gue ngerasa ada yang nembakin jarum ke leher gue. Terus gue gak inget apa-apa lagi."

Sepupuku itu menghela napas lalu berbicara

"Gue baru selesai manggung jam 8 malem langsung pulang kesini ngebut gara-gara Bi Imah telfon lo pingsan di jalan terus dianterin pulang sama cowok namanya Elian. Kata dokter yang meriksa, lo kena tembakan bius,"

Ada jeda sejenak sebelum ia melanjutkan kalimatnya.

"Lo tau gak sih seberapa khawatir gue semalem? Udah dibilang jangan keluar rumah, jangan ngelakuin hal yang bikin lo terancam. Orang tua lo tuh nitipin elo ke gue! Kalo ada apa-apa terus gimana? Lo mikir gak sih? Sekali aja nurut sama gue apa susahnya!"

Aku takut melihatnya marah seperti ini, bahkan membentakku.

"Dan, udah jangan terlalu kasar."

Gerald menenangkan Mas Wildan yang terlihat sangat emosi.

"Maaf," kataku pelan.

Dimarahi seperti ini membuatku merasa sangat bersalah. Harusnya aku menuruti apa katanya. Semua memang salahku, aku bodoh tidak bisa menjaga diriku barang sebentar saja. Aku menundukkan kepala dalam-dalam dan menangis.

"Ssh, udah jangan nangis,"

Gerald merengkuhku dalam pelukan tanpa mempedulikan Mas Wildan yang tadi bahkan memarahinya karena memelukku semalaman. Ia mengusap kepalaku dan menenangkanku agar berhenti menangis.

"Gue tau lo khawatir sama Diandra. Tapi marah sampe ngebentak dia bukan hal yang bisa gue terima. Diandra adek lo, tapi dia pacar gue. Dan gak ada yang boleh bikin pacar gue nangis,"

Tentu saja Gerald menujukan itu pada Mas Wildan. Perlahan Gerald melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku dengan tangannya.

"Dek, maafin gue. Lo tau gue sayang banget sama lo dan gak mau lo kenapa-napa. Udah cukup sekali aja dalam hidup gue kehilangan saudara. Jangan lagi,"

Aku bisa menangkap duka mendalam pada perkataannya. Kekhawatiran Mas Wildan bukan tanpa sebab, ia pernah kehilangan nyawa adiknya. Tentu saja ia tak mau hal buruk terjadi padaku.

Lalu suasana hening. Kami bertiga saling pandang dalam diam hingga akhirnya Bi Imah datang dan masuk ke kamar yang memang terbuka pintunya sejak tadi.

"Maaf Bibi ganggu. Ada tamu pengen ketemu sama Mas Wildan dibawah."

"Siapa Bi?" tanya Mas Wildan.

"Perempuan, Mas. Namanya Karen."

Karen? Aku spontan melihat ke arah Gerald yang juga tampak terkejut, kemudian biasa lagi.

Kami bertiga berjalan ke ruang tamu menemui sosok Karen yang sempat menelepon Gerald di rumahku waktu itu. Aku penasaran siapa sebenarnya Karen.

Mataku terbelalak ketika melihat Karen adalah orang yang kukenal dengan nama Leticia. Apa-apaan maksudnya membohongiku?

"Ngapain lo kesini?"

Gerald menanyai gadis itu dengan dingin dan tatapan datar.

"Gue mau nemuin Wildan, bukan lo."

"Apapun yang mau lo bilang, jangan harap kita bakal percaya. Pergi dari rumah gue."

Baru kali ini aku melihat Mas Wildan bisa dingin pada orang lain. Bahkan ia mengusir gadis secantik Leticia -maksudku Karen- dari rumahnya.

"Oke gue pergi. Tapi inget, apapun yang udah gue bilang ke kalian, gue gak pernah bohong. Dari dulu."

Gadis itu menatapku sejenak lalu pergi dari rumah. Aku kebingungan karena tidak bisa mencerna sedikitpun obrolan mereka tadi. Yang aku lakukan hanya mengharap penjelasan dari Gerald dan Mas Wildan.

Mereka berdua terus saja diam tidak mau memberitahuku apapun terkait Leticia atau Karen. Maka aku terpaksa membuka mulut

"Dia Leticia kan?"

Gerald menatapku dengan heran. Pun Mas Wildan yang segera mendudukkanku di sofa.

"Lo kenal sama dia?"

"Di supermarket. Gak sengaja tabrakan terus kita kenalan."

Gerald memejamkan mata dan mengembuskan napas.

"Leticia Karenina," hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Gerald sebelum ia melanjutkan bicara yang terlebih dulu disetujui oleh Wildan.

"Waktu gue SMA, sahabat gue adalah Wildan sama Karen. Kita deket banget, kemana-mana bareng. Suatu hari gue naksir sama cewek namanya Karine Natania. Gak sengaja banget kan namanya bisa mirip, Karine sama Karen? Waktu itu dari kita bertiga cuma Wildan yang punya pacar, Sarah. Gue suka banget sama Karine tanpa tahu sebenernya Karen udah suka gue diem-diem dari kelas 10.

Masih dalam keadaan gue gatau soal perasaan Karen, gue nembak Karine dan kita jadian. Selama gue jadian, beberapa kali Karen minta gue buat putusin Karine. Gue waktu itu sayang banget sama Karine eh disuruh main putus gitu aja, jelas dong gue gak terima.

Sampe akhirnya suatu malam Karine telfon gue sambil nangis. Dia bilang dia lagi di rumah sakit karena dicelakain sama Karen. Tangannya patah dan harus dioperasi. Gue marah banget malam itu. Widan sama gue nyamper ke rumah Karen dan ngelihat dia lagi nangis. Gue langsung marah di tempat. Dia mulai beralasan kalo awalnya Karine yang cari gara-gara duluan sama dia. Gue udah kalap, gak mau nerima penjelasan apapun versi dia. Malam itu juga dia bukan lagi sahabat gue. Wildan sendiri juga marah besar sama Karen. Sejak saat itu, gue dan Wildan selalu menghindari Karen dalam hal apapun meski akhirnya waktu awal masuk kuliah kita sempat ketemu lagi."

Sejahat itukah Leticia? Aku hanya tidak menyangka ia bisa setega itu.

"Terus Karine gimana?"

"Kita masih pacaran sampe awal masuk kuliah sebelum akhirnya gue putusin dia karena dia selingkuh. Beberapa kali dia ngajak balikan tapi gue tolak. Gue bilang ke dia kalo gue udah punya pacar."

"Tapi Leticia baik. Dia bahkan nyapa aku waktu aku jogging. Kita sempat jogging bareng malah."

"Apa? Jogging bareng?" Mas Wildan mencoba mengonfirmasi ucapanku.

Aku mengangguk.

"Masih inget surat kaleng di rumahku?"

Gerald menanyaiku pasal surat. Haruskah aku memberitahu bahwa ada surat baru yang kuterima? Ah kurasa belum waktunya.

"Iya."

"Beberapa waktu lalu Karen sering telfon aku. Dia minta biar aku jauhin kamu. Buat keselamatan kamu katanya. Orang waras pasti bakal mikir kalo dia dalang dibalik semua ini. Secara dia pernah celakain Karine dulu. Tapi aku juga masih curiga sama Elian yang sempat ngawasin rumah kamu waktu itu. Apalagi kejadian kemarin. Kebetulan banget gak sih Elian ada disana waktu kamu kena bius. Semalem Wildan hampir laporin Elian ke polisi karena dia curiga Elian yang bikin kamu kaya gitu. Tapi tuduhan kita gak mungkin, gak ada saksi di tempat kejadian. Makanya aku sama Wildan buru-buru pulang buat pastiin keadaan kamu.

Wajar kalo Wildan semarah itu tadi. Dia khawatir sama kamu. Kalo kita beberapa hari ini jadi protektif ke kamu juga karena gak mau kamu kenapa-napa. Sebelum semuanya terungkap, kamu jangan kemana-mana dulu. Kita bakal jagain kamu."

Aku tidak pernah sekalipun berpikir akan terjun dalam masalah serumit ini. Beberapa minggu lalu aku hanyalah anak SMA yang normal. Namun dalam beberapa hari keadaan menjadi suram. Aku mendapat teror, mengalami masalah rumit, dan banyak hal lain diluar dugaan. Termasuk 2 penjagaku yang setengah waras ini.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang