Kami bertiga berbaring di satu ranjang dengan aku berada di tengah-tengah. Mas Wildan memejamkan matanya dengan erat, tipikal ia saat menahan emosi. Aku tahu ia belakangan ini sering marah pada dirinya sendiri karena kejadian-kejadian buruk yang menimpaku. Sesekali ia mendenguskan napasnya secara kasar. Tidak ada kata yang terucap sejak aku pulang dari rumah sakit tadi.
Gerald pun demikian. Ia berbaring menatap kosong langit-langit kamar yang didominasi warna putih. Hanya suara televisi memecah keheningan yang bahkan tak kami pedulikan tayangan apa yang sedang tampil. Aku menautkan jari-jariku ke tangan Gerald yang disambutnya dalam diam. Ia menggenggam dengan kuat seolah takut aku akan pergi darinya.
Dalam diam kami mencoba menenangkan diri masing-masing. Menahan emosi dan ego yang ingin tumpah karena semua tekanan yang terjadi beberapa waktu ini. Bahkan saat kami mengira semuanya selesai tetap saja ada masalah baru yang muncul. Kami diam karena lelah secara pikiran. Sebisa mungkin mencoba mengesampingkan keinginan masing-masing demi satu pikiran yang sama dan utuh terkait apa tindakan selanjutnya.
Aku menelan ludahku dengan kesulitan saat membayangkan kami bertiga terpecah belah karena gesekan-gesekan dari luar. Tentu saja aku berpikir demikian. Semua yang telah terjadi seolah ingin membuat kami berpisah. Semua masalah yang sudah berlalu seakan ingin membelah seorang adik dari kakaknya, memisahkan seseorang dari kekasihnya, juga memisahkan dua sahabat yang telah lama bersama. Kalau semua itu sampai terjadi, mungkin aku sudah sangat tertekan saat ini. Astaga, membayangkannya saja membuatku sedih, lalu bagaimana jika itu benar terjadi.
Aku memang bisa dengan mudah keluar dari masalah yang menimpaku berturut-turut. Tapi tak bisa dipungkiri, tidak ada manusia yang dengan konstan mampu menerima teror dan luka baik fisik maupun mental. Aku hanyalah gadis berusia belum genap 18 tahun yang normal sebelum semua musibah itu datang. Aku lemah, rapuh, dan cengeng selama ini. Kalaupun aku kemarin-kemarin tegar dan bisa maju menghadapi para pengganggu itu, mungkin hanyalah keadaan yang memaksaku bersikap berani. Namun sebenarnya dalam hatiku sangat rapuh, aku lemah menghadapi semuanya jika tidak ada Mas Wildan ataupun Gerald bersamaku. Jujur, mereka yang membuatku tetap kuat dan tegar meski aku mendapat luka fisik maupun mental beberapa kali. Kini aku benar-benar kalut memikirkan apakah semuanya akan selesai dengan akhir yang menyedihkan.
Mungkin aku terlalu paranoid dan egois saat memikirkan semua itu. Bukankah selama ini aku mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari mereka berdua karena masalah yang menimpa? Lantas bagaimana nanti ke depannya jika aku tak mengalami apapun lagi? Bagaimana jika nanti mereka merasa bahwa tugasnya hanya sebatas melindungiku? Aku tak bisa membayangkan jika dua orang penjagaku itu pergi. Aku menyayangi mereka.
Air mataku menetes mengenai bantal. Aku benci saat aku menjadi lemah seperti ini. Bukan hal-hal yang lemah dan menyakitkan yang ku mau. Aku juga tidak ingin mereka ada untukku hanya karena aku mengalami serangkaian masalah dan teror. Terlebih, aku tidak ingin mereka ada untukku hanya karena aku terluka secara fisik. Aku bukanlah orang yang dengan bahagia mau menerima luka-luka ditubuhnya. Aku bukan seorang masokis yang tahan akan sensasi sakit pada tubuh. Aku hanyalah Diandra yang takut jika dunia menjauhinya, yang takut jika orang-orang kesayangannya pergi dari hidupnya. Aku hanya ingin Gerald dan Mas Wildan tetap di sisiku meski aku sedang tak menginginkan bantuan dari mereka.
Yang kurasakan hanyalah hening meski suara televisi mendominasi. Hening ini berbeda, terasa lebih memekakkan di telinga dibanding keramaian yang nyata.
Masih dalam posisi kami yang tak bergerak sedikitpun dari tadi, aku mencoba berbicara pada siapapun yang ingin mendengarku.
"Sepi, aku bosan di sini."
Kulirik Mas Wildan yang membuka matanya menoleh ke arahku. Ia tampak memandangku dengan tatapan lebih lunak dibandingkan tadi saat ia tahu perutku mendapat jahitan kecil. Beralih ke sisi kanan, Gerald juga menurunkan pandangannya menuju tangan kami yang masih saling menggenggam dengan erat. Aku bisa mendengar Mas Wildan menghela napas sebelum berbicara denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?