30

28 7 0
                                    

Aku mendengus kesal pada semua kejadian sial yang menimpaku. Kenapa juga harus aku yang dikorbankan pada semua kenangan masa lalu? Lalu haruskah aku menyerah dan pasrah kali ini, toh aku juga akan dibunuh nantinya oleh Stella.

Satu hal yang pasti mengenai Stella adalah ia mantan pacar Kak Andre. Pernah kubilang bahwa ia punya mantan terindah bukan? Maka Anastasia Stella Tiani adalah orangnya. Aku berusaha mencari tahu penyebab putusnya hubungan mereka di masa lalu. Siapa tahu memang itu yang menyebabkan ia berniat membunuhku. Tapi apa pula yang dilakukan Andre dulu hingga mantan pacarnya begitu dendam? Entahlah, semua pertanyaan itu bergema di telingaku. Lama-lama aku bisa sakit jiwa jika harus mengulang adegan yang sama dengan orang-orang seperti mereka, orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk menyakiti.

Gerald memberitahu agar aku tidak keluar rumah sampai Stella diketemukan keberadaannya. Aku menurut saja dan tak banyak membantah mengingat bagaimana Gerald kesusahan selama ini. Ingin sekali kukatakan agar ia tak usah terlalu keras melindungiku. Lagipula aku bisa menjaga diri agar tetap baik-baik saja.

***

Malam ini sangat sepi. Gerald, Eric, dan Mas Wildan masih berada di kamar entah untuk apa. Aku berniat memancing keluar Stella dari persembunyiannya. Tugas umpan adalah menangkap mangsa, maka itulah yang akan kulakukan saat ini. Setelah menyiapkan diri, aku mengendap-endap turun dan pergi ke bawah. Tak lupa aku memberitahu Bi Imah agar tutup mulut saat ditanya Mas Wildan nanti.

Hanya ada satu akses keluar dari rumah ini yaitu lewat pagar depan. Mau tak mau aku harus berhadapan dengan Wawan agar mengijinkanku keluar. Ia menolak karena sudah diperintahkan Mas Wildan agar melarangku pergi. Namun setelah aku berbicara dengan sedikit bumbu ancaman, ia menginjinkanku pergi. Masalahnya adalah, aku tak tahu harus kemana.

Aku memesan taksi online dan mengatur tujuanku ke cafe Edelweiss milik keluarga Gerald. Aku bisa tahu itu saat berkunjung ke rumahnya beberapa waktu lalu. Sebuah notifikasi line masuk ke handphoneku.

A. : Punya nyali juga lo keluar rumah sendirian

Aku tersenyum melihatnya, ia terpancing.

Diandra Wijaya : Edelweiss, 15 mnt lagi. Don't be late, dear.

A. : Ok.

Kusimpan kembali handphoneku ke dalam saku dan mulai merencanakan apa yang akan kulakukan padanya.

***

Suasana cafe lumayan ramai, jadi kalau nanti aku terbunuh disini akan banyak orang yang mengetahui pelakunya. Aku duduk di meja nomor 11 dengan tenang sambil menunggu pelayan menyajikan makanan. Andai saja aku bersama Gerald saat ini, pasti suasananya akan lebih baik.

Seorang wanita bertubuh kurus mengenakan topi berjalan ke arah mejaku. Kalau ia Stella, maka ia tampak sangat normal dengan dandanan tomboy dan tidak menampakkan diri sebagai calon pembunuh. Aku sedikit mundur saat ia duduk di depanku. Benar saja, ia memang Anastasia Stella Tiani.

"Halo Kak," sapaku ramah. Aku tak boleh kehilangan identitas sebagai Diandra yang riang.

Ia tersenyum sinis berusaha menunjukkan kesombongannya. Sekilas kuperhatikan telapak tangannya yang terlampau kasar untuk ukuran seorang wanita. Kuku jari-jarinya rapi namun bukan hasil dari perawatan mahal di salon. Kemudian matanya, layaknya orang yang kurang tidur setiap hari membuat kantung mata dan lingkaran hitam bertengger di sana.

"Kamu tinggal sendiri selama ini?" Tanyaku.

"Ya," jawabnya singkat.

"Maaf, tapi kamu hidup dengan sulit tanpa asisten rumah tangga."

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang