16

38 8 0
                                    

Aku yakin ini bukan cuma perasaanku. Tadi saat menoleh ke belakang aku seperti melihat seseorang dibalik mobil yang terparkir di tepi jalan sedang menatap lurus ke arahku. Aku mencoba setenang mungkin dan bersikap biasa saja seolah aku tidak tahu apapun. Namun jantungku berdetak lebih keras dari biasanya. Aku segera mengayuh sepedaku menjauh dari tempat itu. Sherly. Aku harus pergi ke rumah Sherly.

***

"Jadi gitu Sher,"

"Keren banget hidup lo njir. Ah andaikan itu gue yang dilindungi Gerald,"

"Sherly gue serius!"

Tadi aku bergegas ke rumah Sherly yang terletak beberapa km dari rumah Mas Wildan. Aku bahkan hampir pingsan mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi untuk sampai ke rumahnya. Nasib baik Sherly berada di rumah dan mengistirahatkanku di kamarnya. Aku juga menceritakan teror yang mengintaiku dan bagaimana protektifnya Gerald serta Mas Wildan beberapa hari ini tapi dasar Sherly, ia menganggap hidupku seperti di novel-novel yang memiliki pangeran idaman.

"Iya iya Diandra sayang, tapi lihat sekarang lo baik-baik aja disini. Sekarang tergantung elo, mau bilang ke Wildan apa engga? Keselamatan lo terancam tadi pagi"

Aku menghela napas. Jangan. Gerald maupun Wildan jangan sampai tahu perihal aku tadi. Bisa-bisa mereka tidak fokus dan terganggu nanti.

"Gausah lah Sher. Mereka lagi sibuk, gak enak kalo gue bebanin pikirannya."

Ia mengangguk dan memelukku untuk memberi dukungan moril. Setidaknya aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku.

***

Bersama dengan Sherly membuatku lupa waktu. Matahari sudah berada di barat menandakan sore telah tiba. Setelah pamit pada orang tua Sherly, aku pulang kembali ke rumah Mas Wildan menaiki sepeda. Satu hal yang menyebalkan saat ini hanyalah jarak rumahnya lumayan jauh dengan rumah Sherly.

Kulihat beberapa pedagang mulai berangkat ke alun-alun untuk menjajakan dagangannya. Aku terus melajukan sepedaku hingga tak terasa sudah memasuki kompleks yang sepi itu. Ada perasaan takut dan khawatir saat melintasi jalanan sepi ini. Terkadang ada satu dua sepeda motor bersliweran di sini. Hanya terdengar suara gonggongan anjing dari rumah yang kulewati.

Tiga rumah lagi aku akan sampai. Pagar hitam rumah Mas Wildan sudah terlihat, hal itu membuatku sedikit lega. Aku menurunkan kecepatanku saat aku merasakan ada yang aneh pada sepedaku. Benar saja, ban sepedaku kempes.

Dengan kesal aku turun dari sepeda dan mengecek kondisi ban. Ada paku menancap disana. Siapa pula orang bodoh yang tega menyebar paku untuk mencelakai orang lain. Aku menuntun sepedaku menuju rumah dengan perasaan dongkol.

Wawan membukakan pagar untukku masuk. Dengan wajah cemas Mbak Nur menghampiriku,

"Saya cemas Mbak dari pagi belum pulang, tadi ada surat buat Mbak Diandra. Saya taruh di meja kamar ya Mbak."

"Dari siapa Mbak?" rasa khawatir menjalari tubuhku lagi.

"Enggak tau Mbak, tadi yang nerima satpam. Katanya sih perempuan yang ngasih,"

"Oh yaudah makasih. Tolong siapin air panas ya aku mau mandi."

"Iya Mbak."

Surat? Perempuan? Aku jadi semakin penasaran dengan semua ini. Permainan apa yang telah melibatkanku didalamnya. Siapa dalang dibalik ini semua? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Aku semakin bertekad untuk memecahkan masalah ini sendirian.

Aku memasuki kamar dan menemukan surat yang dimaksud Mbak Nur di meja. Amplop putih dengan noda di ujungnya. Kucium aromanya, noda kopi. Sepertinya si pengirim tidak sengaja menumpahkan kopi di sini. Tapi ada aroma lain di amplop itu meski tidak tajam baunya. Wangi parfum wanita. Ah atau mungkin noda kopi berasal dari satpam yang tidak segaja menumpahkannya. Sedangkan wangi parfum berasal dari si pengirim.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang