31

27 7 0
                                    

Memar di lututku belum sepenuhnya hilang, luka-luka di tanganku juga baru saja mengering. Kini aku malah terbaring dengan perut terbalut perban. Rasa sakit dan perih mendera setelah aku mendapat penanganan. Padahal tadi saat belum dibawa ke rumah sakit aku masih bisa berjalan, sekarang saat mengetahui lukaku lumayan menyakitkan aku jadi tak berani bergerak banyak.

Kudengar dari Gerald, Stella dipulangkan ke rumahnya dengan penjagaan orang kepercayaan Mas Wildan serta seorang psikiater. Setidaknya aku lega karena Stella tidak dipenjara atas ulahnya.

Gerald beranjak duduk di sampingku, wajahnya menunjukan raut kecewa karena aku bertingkah semauku tadi.

"Kenapa tadi kabur?"

"Biar Stella nangkap aku lah."

"Kamu bisa aja terbunuh tadi."

"What's life without a little risk?"

Ia tersenyum.

"Gara-gara Stella juga kan kamu menghindar selama seminggu ini."

"Oh jadi gak betah lama-lama jauh dari aku?"

Huh, meski itu juga salah satu alasannya, aku juga tak mau saja lebih lama lagi terancam. Dasar Gerald saja yang narsis.

"Bukan."

"Aku yang gak bisa lama-lama jauh dari kamu."

"Apasih," aku yakin sekarang pipiku memerah karena ia tertawa kecil saat melihat wajahku.

Terdengar suara pintu terbuka. Mas Wildan datang bersama Eric membawa bungkusan yang aku tak tahu apa isinya. Sepertinya makanan, kalau iya kebetulan sekali aku sedang sangat lapar. Bahkan makanan yang tadi ku pesan di Edelweiss pun tak sempat tersentuh karena perutku terlanjur digores benda tajam.

"Mau makan gak?" Tanya Mas Wildan padaku.

"Jam 11 malam gini?"

"Yaudah kalo gak mau,"

"E-eh mau, lapar banget."

Ia mengeluarkan kotak putih berisi bubur ayam yang hangat. Aku sendiri tak mengerti dimana ia bisa mendapatkan bubur selarut ini. Terlebih, aku tak paham kenapa ia memberiku bubur karena sungguh, aku sedang sangat sehat saat ini.

"Kenapa bubur?"

"Gak kenapa-napa sih, perut lo lagi sakit kan,"

Aku berusaha untuk duduk dibantu olehnya. Sedikit aneh saat perutku yang sedang dalam masa penyembuhan menjalarkan rasa perih di sekitar luka.

Sebenarnya aku bisa makan sendiri, tapi Mas Wildan memaksa untuk menyuapiku. Sungguh, aku tak mau diperlakukan seperti orang sakit. Menuju suapan kelima, aku menolaknya karena merasa sedikit mual.

"Minum dulu," katanya sambil menyodorkan gelas.

Ia menghela napas kemudian menatapku dengan serius.

"Lo masih pengen disini apa gue anter pulang ke Semarang?"

Aku tersedak mendengarnya. Untuk batuk pun terasa menyiksa seluruh tubuh saat ini.

"Gimana sih, minum lagi nih."

Kuteguk sisa airku hingga habis. Tak tahukah ia bahwa aku tak bisa tampak sakit di depan orang tuaku?

"Gue masih sakit Mas. Lutut masih memar, luka masih kaya gini, ini ada yang baru lagi. Gimana gue bisa ketemu Mama sama Papa?"

"Serius Dek, lo nekat banget tadi. Ini mending lo gak kenapa-napa. Sadar gak sih tadi lo bisa kebunuh?"

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang