Semesta seolah bercanda dalam menuliskan takdir. Roda kehidupan memang berputar, apapun yang terjadi bisa berjungkir balik di masa depan. Berbalik dengan tiba-tiba dan tanpa aba-aba.
Seandainya waktu bisa diulang atau melompat ke depan, manusia akan lebih bahagia dalam menjalani hidupnya tanpa penyesalan. Namun bukan hidup namanya jika tidak ada pengorbanan.
Aku pernah mengalami masa-masa sulit dan mengerikan. Aku juga pernah mengalami masa-masa menderita dan nelangsa. Tapi jauh di atas itu semua, cukup adil saat Tuhan mengizinkanku mengecap kebahagiaan.
Lalu malam ini, takdir apa yang membuatku mengalami derita dan bahagia di saat yang sama? Aku melihat dirinya saat ini, berdiri mematung di depanku. Membuatku berdiri diantara jurang kebencian dan kerinduan.
Dua tahun terakhir bagaikan masa yang sangat sulit kulalui. Mencoba bangkit dari keterpurukan. Belajar merangkak, berdiri, dan akhirnya bisa berjalan lagi. Namun melihatnya malam ini, seakan aku kembali telentang dan tak bisa merasakan napas kehidupan.
Mataku memanas, air mata tak lagi bisa kubendung mengalir tanpa ampun. Aku terisak dan bergetar melihat dirinya lagi. Semua bagai mimpi, aku selama ini merindukannya hingga setengah gila dan sekarang ia berdiri di depanku seolah tidak ada yang terjadi?
"Diandra, ada yang mau ketemu. Take your time, aku pergi mengantar Opa pulang." Kata Eric sambil mengusap air mataku.
Aku hanya diam tak merespon. Ia berlalu menghampiri Pak Darmawan dan menuntunnya untuk pulang, meninggalkanku berdua bersama orang yang kuketahui sebagai Geraldy David Sebastian.
"Well, mau apa lo?" Kataku dengan isakan tertahan.
"Aku minta maaf,"
"Atas?"
"Semuanya. Aku nyesel, aku rindu kamu."
Aku berdecih, mencoba melawan rasa rinduku dan mengeluarkan kebencian yang tertahan. Air mataku sudah setengah kering mendengar suaranya lagi setelah dua tahun berlalu.
"Nyesel? Maaf gue gak ada waktu. Gue mau pulang sekarang," kataku sambil berlalu meninggalkannya.
"DIANDRA AKU PUNYA ALASAN ATAS APA YANG TERJADI DUA TAHUN LALU."
Aku menghentikan langkahku. Tak bisa kupahami mengapa emosiku membuncah mendengarnya berteriak. Dulu saat ia berteriak padaku untuk meminta shampo, ia terdengar menggemaskan. Tapi sekarang ia begitu menyebalkan.
"Jadi? Kenapa dulu pergi tanpa pernah memberi alasan?" Aku tersenyum, namun senyum sinis yang kuberikan. Biarlah, jika aku saat ini terlihat jahat itu juga karenanya yang tak tahu seberapa menderita aku dahulu.
"Ayo, aku antar kamu pulang."
Ia menarik jemariku dalam genggamannya. Sejujurnya aku sangat merindukan saat ia memperlakukanku dengan lembut dan tanpa banyak basa-basi seperti itu.
Aku juga tak berniat melepaskan genggamannya. Ia berjalan dan mendudukkanku di jok mobilnya, lalu berputar dan duduk belakang kemudi. Ada keheningan yang menguasai kami. Aku dengan rindu dan benciku, serta ia dengan segala pikiran yang tak pernah terjamah olehku.
"Di?"
Aku memejamkan mata, mencoba menetralisir kelabilanku yang menggelora. Entah, sepertinya memang aku harus mendengar semua darinya saat ini. Sepertinya Tuhan memang mempertemukanku dengan Opa Darmawan agar aku berpemikiran lebih dewasa. Dengan pelan kuhembuskan napasku, menekan ego yang menguasai diri.
"Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan penjelasan kamu," kataku sambil membuka mata dan menatap langsung ke netranya.
"Sambil jalan ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?