35

25 6 0
                                    

Aroma kopi tajam menusuk hidungku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang memenuhi ruangan ini. Rupanya semalam aku tertidur di ruang tengah. Dengan gerakan malas aku mengucek mata dan menguncir rambutku yang acak-acakan.

Aku terduduk dengan perasaan aneh sejak tadi. Bisa-bisanya aku mengalami jet lag padahal kemarin aku bersikap normal saat datang. Aku memang baru tiba dari Australia kemarin sore dan langsung pulang ke rumah Mas Wildan yang berada di sini. Pemiliknya sendiri masih di Surabaya mengatur perusahaan disana. Suara wanita paruh baya menyadarkanku dari lamunan,

"Mbak, mau saya bikinkan kopi apa cokelat panas?"

Bi Imah dari dulu selalu begitu. Ia hanya tampak lebih tua saat ini, dan lebih kurus.

"Gak usah aja Bi. Saya masih bingung rasanya,"

Ia tertawa kecil dan menyentuh pundakku dengan rasa sayang.

"Lama ya Mbak ndak main ke sini. Tiap hari saya kalo lihat serbuk cokelat di dapur saya jadi inget Mbak Diandra."

"Iya saya kan emang ngangenin ya Bi?"

"Iya. Dua minggu lalu Ibu sama Bapak pulang ke sini sama Mas Wildan juga. Tiga hari nginep terus balik lagi ke Surakarta. Mas Wildannya juga kembali ke Surabaya waktu itu."

Aku manggut-manggut pelan.

"Permisi ya Mbak saya ke dapur dulu. Mau disiapkan air buat mandi sekalian?"

"Nanti aja Bi, masih males." Aku tersenyum kecil.

Bi Imah mengangguk lalu pergi ke dapur berkutat dengan pekerjaannya. Aku mengambil handphoneku untuk mengecek notifikasi yang masuk dan mengirimkan pesan pada temanku. Rencananya hari ini aku ingin ke rumah Sherly sekalian memberikan oleh-oleh yang ku bawa dari Sydney kemarin.

Diandra Wijaya : Sher lo nanti jemput gue ya? Hehe

Sherly Adriana : Mobil apa kabar mba?

Diandra Wijaya : Kaga mau. Kasihan Pak Diman.

Sherly Adriana : Nyetir sendiri apa susahnya?

Diandra Wijaya : Gue masih jetlag. Ntar kenapa-napa di jalan gmn dong

Sherly Adriana : Cupu. Ntar aja agak siangan dikit gue masih mager

Diandra Wijaya : Ok gue tunggu. See u babe

Sherly Adriana : Najis lo

Aku tersenyum tipis melihat balasan Sherly. Dari dulu ia tak pernah berubah, selalu saja kasar dan sinis. Tapi kalau tidak begitu maka bukan Sherly namanya.

Aku melangkahkan kaki menuju belakang rumah. Ada kolam renang yang baru dibuat tiga tahun lalu. Sekarang rumah ini tampak lebih nyaman, entahlah mungkin Mas Wildan berencana tinggal di sini kelak. Kubaringkan tubuhku di kursi santai ala pantai yang ada di tepi kolam. Aku tak cukup berani untuk merasakan dinginnya air sepagi ini.

Liburanku masih tersisa empat hari lagi sebelum aku harus pergi ke Yogyakarta untuk urusan pekerjaan. Memang aku langsung bekerja begitu lulus kuliah karena perusahaan ayahku tidak ada penerusnya sementara kakakku sudah disibukkan dengan firma yang dikelolanya. Lagipula sebentar lagi ia akan memiliki anak setelah tahun lalu ia menikah dengan Kak Velda. Praktis, perusahaan ayahku akan jatuh ke tanganku.

Aku memandang dasar kolam yang berwarna biru itu. Pikiranku melayang pada masa tiga tahun lalu saat aku memberi kejutan pada Mas Wildan yang berulang tahun. Saat sedang meniup lilin, Gerald menceburkan Mas Wildan ke dalam kolam yang airnya dingin pada malam hari. Ia sampai mengumpat berkali-kali sambil menggigil karena ulah jahil sahabatnya itu. Bibirku mengulum senyum mengingat itu semua. Andai saja Gerald saat ini masih bersama kami, mungkin akan lebih banyak hal-hal gila yang ia lakukan.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang