Pagi ini kulihat Gerald mengemasi barangnya kedalam satu koper.
"Ger,"
"Hm?"
"Kamu mau kemana?"
"Pulang."
"Ini kan udah di rumah. Mau kemana?"
"Pulang ke rumah."
Ia bahkan menjawabku tanpa memandang. Tentu ada yang salah dengannya, atau denganku?
"Kamu kenapa?"
Gerald bahkan diam tak menjawabku. Sejak semalam ia juga tak bicara padaku, kupikir ia butuh waktu untuk kemarahannya.
"Biarin dia mau pulang. Biar tenang,"
Suara Mas Wildan mengagetkanku. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan meminta penjelasan. Tentu saja aku butuh penjelasan, Gerald jadi aneh pagi-pagi begini.
"Gue cabut dulu Bro,"
Saat aku menoleh lagi, Gerald sudah siap dengan koper dan ranselnya. Ia bahkan sudah berdiri dan melangkah ke arahku dan Mas Wildan.
"Oke. Jangan lupa kabarin," kata Mas Wildan sambil menepuk pundak Gerald.
Aku menatap wajahnya dengan heran. Mengapa ia pergi sekarang? Apakah ada masalah? Bagaimana denganku? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema di kepalaku.
Gerald menatapku tepat di mata. Aku tak bisa mengartikan pandangannya yang terasa lain itu. Ada sesuatu yang tak kuketahui sedang terjadi saat ini. Bayangan tentang kejadian semalam dan ketakutanku akan Gerald yang meninggalkanku membuat otakku buntu tak bisa berpikir. Mataku memanas siap untuk menangis tapi kutahan, Gerald tak boleh melihatku menangis.
"Ger-"
"Gue pergi dulu," katanya singkat kemudian berlalu meninggalkanku. Apa yang terjadi pada Geraldku? Hatiku teriris melihatnya seperti ini.
"Mas,"
"Apa?"
"Gerald kenapa?"
Air mataku menetes saat menanyakan itu pada Mas Wildan. Entah mengapa tapi aku sangat yakin ini semua karenaku. Tapi apa kesalahan yang kulakukan? Bukankah kemarin Gerald masih baik-baik saja sebelum aku membongkar kejahatan Karen?
"Gak apa-apa. Dia mau ngecek rumahnya aja. Udah lo jangan nangis gitu malu-maluin amat."
Aku tak bernafsu melakukan kegiatan apapun saat ini. Gerald pergi, dan itu pasti karenaku.
***
Sudah tiga hari Gerald tak datang ke rumah Mas Wildan. Jangankan datang, mengangkat telepon atau membalas pesanku pun ia tak melakukannya. Sungguh hal itu menimbulkan pertanyaan besar dalam diriku, apa yang terjadi padanya, sedang apa ia, baik-baik sajakah atau tidak, dan banyak pertanyaan yang menghinggapi benakku.
Makan pun aku tak lagi bernafsu. Hari ke hari aku hanya sesekali menyentuh makanan yang disajikan Bi Imah. Mas Wildan yang setiap hari membujukku untuk makan lama-lama juga lelah. Kadang aku menurut untuk makan, lebih seringnya aku diam di kamar mengurung diri. Memang, kepergian Gerald berdampak besar nagi diriku.
Tak banyak yang ku tuntut, aku hanya mau penjelasan mengenai perginya Gerald darinya. Namun saat aku menanyakannya, Mas Wildan selalu menjawab Gerald sedang sibuk mengurus rumah dan melakukan hal penting lainnya. Bukan, bukan itu jawaban yang kumau. Ada sesuatu yang disembunyikan dariku selama ini. Maka dari itu mogok makan kujadikan senjata agar mereka mau memberitahuku yang sebenarnya.
Ini hari keempat, aku menjalankan mogok makanku mulai sekarang. Kukunci rapat pintu kamarku dan tidak mau membukanya dari pagi tadi. Sejujurnya perutku melilit karena tak mendapatkan jumlah makanan yang cukup berhari-hari ini. Namun apa boleh dibuat, aku haru melakukannya. Aku meneguk air minum dari botol yang kusimpan di lemari selama ini. Cukup untuk membuatku merasa kenyang tanpa nasi atau roti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?