37

23 5 0
                                    

Waktu empat hari terasa sangat cepat bagiku. Sore ini aku terbang ke Yogyakarta untuk bertemu dengan ayahku guna membicarakan  pekerjaanku nanti. Aku duduk di pesawat di sebelah jendela dengan Mas Wildan berada di sebelahku. Ia bilang ingin berlibur sebentar untuk menenangkan pikiran.

Perjalanan selama satu setengah jam tidak begitu terasa karena kami sibuk ngobrol melepas rindu. Memang sejak dari Australia aku sama sekali belum bertemu dengannya. Aku juga menceritakan tentang Eric yang empat hari terakhir begitu perhatian terhadapku. Ia bahkan rela mengantarku ke bandara dan meninggalkan rapat di kantornya.

Hari sudah sore saat kami tiba di Yogyakarta. Segera aku menelepon supir yang disiapkan untuk mengantar kami berdua ke Kulon Progo dimana ayah dan ibuku sudah menunggu. Kami memang memiliki villa disana dengan pemandangan sunset yang indah saat sore. Maka ini momen yang pas bagi kami datang di sore hari.

Suasana Yogya memang sangat terasa khasnya. Aku selalu suka saat berada di sini selain suasananya yang berbeda, ada perasaan seperti berada di rumah sendiri sehingga membuat siapapun betah saat di Yogya. Mas Wildan yang begitu antusias sejak berangkat tak henti-hentinya berdecak kagum mengingat kali terakhir ia berkunjung adalah enam tahun silam.

"Emang lo mau ambil bagian apa di perusahaan bokap?"

"Gue sih gak mau kerja Mas, pengen jadi istri yang baik untuk suami nanti," kataku asal sambil memainkan handphone.

Tapi sungguh, dibanding membanting tulang bekerja memajukan perusahaan, aku lebih baik duduk manis di rumah menjadi seorang istri yang baik. Mas Wildan menoyor kepalaku lalu memiting leherku hingga menimbulkan gaduh di dalam mobil.

"Untung gue kakak lo. Coba kalo gue pacar lo udah gue buang dari pesawat tadi,"

"Idih kenapa coba? Bener. Cewek itu tugasnya bekerja di rumah."

"Seriusan ogeb lo mau jadi apa?"

"Papa kan CEO, Mas. Gue gak yakin bisa nerusin nanti. Mungkin gue bakal mulai dari yang paling rendah dulu baru nanti pas udah siap gue bakal gantiin posisinya. Lagian Papa punya Om Hendra yang dipercaya kan. Gak nikah-nikah juga tuh."

Om Hendra adalah adik termuda ayahku yang jarak usianya jauh dengan ayah. Seingatku ia masih SMA saat aku dulu kelas TK B. Maka jaraknya dengan kakakku juga tak terlalu jauh. Selama ini ia yang dipercaya ayahku untuk menggerakkan roda perusahaan bersamanya.

"Bagus sih lo bisa bantuin ngepel sama nyapu dulu," katanya sambil menatap ke arahku dengan sok bijak.

"Enak aja. Gue kuliah bukan buat nyapu sama ngepel di kantor."

"Katanya mau jadi istri yang baik,"

"Iya sih tapi gak gitu juga."

Ia terkekeh lalu menepuk-nepuk pundakku.

"Lo mending sampein aja apa yang lo mau ke bokap lo. Ntar Om Hendra juga disana. Asal lo tau dia udah mau nikah bentar lagi."

Aku yang sedang minum jadi tersedak mendengarnya.

"Serius? Sama siapa?"

"Calon bininya lah masa sama gue,"

Aku manggut-manggut mengerti.

"Eh tapi ya Mas, Kak Andre kalo manggil Om Hendra tuh gak pake 'Om' tapi 'Mas'. Durhaka banget gak sih?"

"Bukan durhaka sih. Emang lo mau dipanggil tante pas masih SMA, yang manggil anak SMP lagi?"

"Enggak."

"Yaudah makanya,"

"Gue deg-degan. Ini pertemuan penting,"

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang