5

111 17 0
                                    

Setelah cukup jauh dari Elian, aku melepaskan tangan Gerald yang ku genggam. Tindakanku tadi bodoh dan beresiko. Tapi bagaimana lagi, aku kan harus menghindar dari Elian secepat mungkin. Dan hanya itu cara yang terlintas di pikiranku.

"Sejak kapan sih kita pacaran?"

Gerald menaik-turunkan alisnya sambil senyum jahil yang demi apapun itu membuatku mual.

"Sorry, Kak. Gue cuma kepikiran itu buat ngehindar dari mantan gue."

"Iya, mantan yang ninggalin lo pas pensi kan? Siapa namanya tadi, Alien?"

"Elian. Tunggu, kok lo bisa tau?"

"Gue tau banyak tentang lo. Bukan hal sulit saat Wildan minta gue buat jagain lo."

"Lo stalker ya?"

"Enak aja. Kaga lah. Gue punya insting."

"Kok jadi serem gini sih. Lo indigo?"

"Yang bisa lihat setan gitu? Engga lah."

"Terus?"

Senyum. Gerald hanya senyum lalu putar balik dan berjalan meninggalkanku. Siapa dia? Kenapa bisa tahu hal yang bahkan belum aku ceritakan pada siapapun?

Ia melenggang keluar supermarket begitu saja tanpa memikirkan aku. Dasar tidak tahu diri! Aku mengekor dibelakangnya sambil pasang wajah kesal sekaligus heran. Manusia macam apa dia? Aku terus melangkahkan kaki yang terasa capek karena untuk berjalan saja aku tidak ikhlas. Sesampainya di tempat pencucian mobil, Gerald segera membayar dan masuk ke dalam mobil yang tentu saja ku ikuti.

Hening. Canggung. Kami tidak berbicara sepatah katapun sejak keluar dari tempat cuci tadi. Gerald menjalankan mobil menuju perumahan elit yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya. Ia membelokkan mobil ke blok C dan berhenti di depan rumah nomor 3. Rumah yang indah, mewah meski ukurannya tidak terlalu besar. Sepertinya pemilik rumah hanya tinggal sendiri.

"Turun gih."

Dua kata pertama yang diucapkan Gerald sejak tadi. Aku hanya menurut dan segera turun dari mobil.

Hei, ia punya kunci rumahnya. Jadi ini rumah Gerald, batinku. Tapi bukankah ia pernah mengatakan kalau bertetangga dengan Mas Wildan? Aku jadi semakin penasaran tentang sosok Gerald. Siapa gerangan ia?

Tak lama kemudian Gerald keluar membawa gitar, mengunci kembali pintunya, lalu berjalan ke arah mobil. Hanya begini? Kalau begitu mending aku tidak usah turun tadi.

"Abis ini kemana?" Tanyaku polos.

"Pulang dong. Mau kemana emang?"

"Gak sih. Heran aja gue."

"Yaudah. Masuk."

Kenapa dia jadi aneh begini? Aku takut. Jangan-jangan Gerald bipolar dan sekarang ini bukanlah Gerald asli yang cengengesan dan perhatian seperti kemarin?

Mas Wildan is calling...

"Halo"

"Lo dimana?"

"Di jalan. Sama Kak Gerald."

"Masih lama gak? Gue di depan rumah lo eh dikunci semua."

"Ini otw kok. Tunggu ya, 20 menit nyampe."

"Oke."

Gerald memasang tampang bertanya yang segera kujawab,

"Mas Wildan pulang ke rumah."

"Oya? Harus cepetan pulang nih."

"Iya makanya, buruan."

"Siap."

Kemudian canggung lagi. Aku benar-benar ingin segera sampai di rumah dan memberitahu Mas Wildan kalau temannya mengerikan. Setidaknya aku bisa dapat perlindungan darinya nanti.

Mobil terus melaju membelah keramaian jalan. Sepanjang jalan pula aku hanya menatap keluar jendela berusaha mengalihkan pikiranku dari perubahan sikap Gerald. Tak terasa kami sudah mendekati rumah. Kulihat mobil Mas Wildan terparkir di tepi jalan depan rumahku. Setelah membuka kunci pagar, dua mobil tadi masuk ke halaman rumahku. Aku menutup pagar lalu menghampiri mobil sepupuku.

"Mas Wildan!!"

Dengan ceria ku sapa sepupuku dan menghambur dalam pelukannya. Mas Wildan tersenyum dan mengacak gemas rambutku.

"Abis jalan-jalan kemana nih?"

"Tuh nganter Kak Gerald beli shampo."

Aku membantu membawakan kopernya sementara Mas Wildan masih berbincang singkat dengan Gerald. Sekilas kulihat wajah Mas Wildan mendadak jadi serius. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku dan tersenyum ketika mendapati aku sedang memperhatikannya. Aku mengalihkan pandangan dan segera membuka pintu rumah untuk mempersilakan kedua tamuku masuk.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang