Kepalaku sangat pusing saat aku terbangun dan menyadari Gerald maupun Mas Wildan tidak ada di sini. Bagaimana bisa mereka meninggalkanku tanpa pengawasan di ruangan yang hampir gelap total. Penerangan yang ada hanyalah lampu redup berwarna biru yang ada di dinding, selebihnya gelap. Aku mencoba duduk untuk mencari saklar lampu tapi apa daya kakiku sakit saat digerakkan dan kepalaku pusing tak karuan. Entahlah, aku takut kegelapan seperti ini.
Cklek
Pintu terbuka menampakkan siluet seseorang yang kini berdiri di ambang pintu. Ia masuk dan menutup kembali pintunya. Aku mencoba mengenali siapa orang itu tapi semakin aku mencoba, semakin sakit rasanya kepalaku. Apapun yang terjadi nanti, aku pasrah.
"Siapa kamu?" tanyaku lemah.
Hening. Ia tak menjawab apapun malah berjalan mendekat. Wangi parfumnya menguar ke udara. Ya! Aku sangat mengenal wangi parfum ini. Aku berharap ia mendekat agar aku bisa melihat wajahnya. Namun ia berhenti di kegelapan, dasar pengecut! Aku sebisa mungkin berusaha agar tetap terjaga.
"Pengecut lo," desisku.
Tetap hening dan tak ada suara. Aku mencoba sefokus mungkin tapi sakit kepalaku sungguh menyiksa. Aku tak tahu ini kenapa apakah gara-gara benturan atau hal yang lain. Wangi parfumnya memasuki hidungku dengan paksa. Aku suka wangi ini, tapi tidak normal kalau seseorang memakai parfum yang wanginya memenuhi ruangan.
Kepalaku terasa semakin sakit menyiksa. Aku memejamkan mata berharap agar rasa sakit ini berkurang. Sesuatu yang dingin menyentuh tanganku dan menggoresnya disana. Terasa perih, tapi tak sebanding dengan rasa sakit kepala yang kualami. Kubuka mataku namun yang terjadi hanyalah buram dan semakin pusing. Kupaksakan diri agar tetap sadar tapi lama-lama pandanganku gelap. Dalam kondisi pikiran yang melawan tubuhku sendiri, aku mendengar suara yang begitu dalam.
"Udah gue bilang kan, jauhin Gerald."
Ya Tuhan, apapun yang terjadi nanti aku sudah pasrah.
***
Aku terbangun karena suara gaduh seseorang yang bertengkar. Mas Wildan dan Gerald terlibat adu mulut tanpa tahu aku sudah sadar.
"Karena semua tetep salah lo! Gara-gara Diandra pacaran sama lo dia jadi celaka!"
"Apa gue mau dia celaka? Gue sayang sama Diandra! Lo kira gue diem aja ngelihat dia kaya gini?"
"Cih, apa yang lo lakuin? Ngilang kemana lo semalem?"
"Gue pergi nyari Karine!"
"BERHENTI KALIAN"
Aku berteriak karena tak kuat mendengar dua sahabat itu berdebat. Siapapun dia dibalik teror ini, dia ingin memisahkanku dengan Gerald dan menghancurkan persahabatan Gerald dan Wildan.
"Diandra," sahut mereka bersamaan.
"Kalian sadar nggak sih dia cuma mau mecah belah kita," kataku pelan.
Gerald memutari ranjangku dan mengambil tempat di sisi kiri sementara Mas Wildan di kanan.
"Apa yang kalian lakuin semalem?"
"Nyari Karine," balas Gerald.
"Geledah kamar lo dan nemuin surat yang lain. Kenapa lo gak cerita sama gue?" kali ini Mas Wildan yang menjawab.
Aku sedikit terkejut rahasiaku diketahui Mas Wildan. Tapi sudahlah, lagipula semua harus diketahui untuk saat ini.
"Lo udah bilang ke orang tua gue kalo gue di rumah sakit?"
"Belum."
"Bagus. Jangan dulu. Karena gue tahu apa yang terjadi,"
"Tangan kamu.." Gerald panik melihat spreiku ada bercak darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?