Efek obat yang ku minum membuatku tidur hingga pagi. Saat aku membuka mata, Gerald sudah tak lagi disampingku. Hati terasa sakit saat mengingat bagaimana singkatnya pertemuan kami. Aku masih sangat rindu, dan ia pergi lagi untuk waktu yang tak tentu.
Cahaya matahari masuk menerobos jendela membuatku tak tahan dengan kilaunya. Aku mengerjap sebentar untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Hari ini aku akan kembali menguatkan diri, menjadi Diandra yang baik dan riang seperti dulu. Kehadiran Gerald kemarin membuatku lebih bersemangat, juga menurunkan panas tubuhku. Aku sangat sehat hari ini!
Aku berjalan menuju kamar Mas Wildan dengan senyum yang mengembang. Kuharap itu bisa menebus kesalahanku atas aksi konyolku seminggu kemarin. Pintunya masih tertutup, sepertinya ia belum bangun. Aku berinisiatif untuk memasak sesuatu untuknya.
Kulangkahkan kakiku dengan ringan ke dapur. Kulihat Bi Imah sedang tak terlalu sibuk karena ia hanya duduk di kursi sambil menunggui panci di atas kompor yang menyala.
"Pagi Bi,"
Bi Imah menoleh ke arahku, wajahnya sumringah.
"Pagi Mbak, sudah sehat?"
"Udah dong, Mas Wildan masih tidur?" Tanyaku pada Bi Imah yang hari ini memakai daster warna coklat.
"Mas Wildan sudah pergi pagi-pagi habis subuh tadi Mbak, saya ndak tahu kemana."
Aku menautkan alisku merasa heran. Kenapa ia tak mengabariku?
"Gak bilang apa-apa Bi?"
"Tadi nitip pesan katanya kalau Mbak Diandra bangun jangan lupa sarapan, terus ndak usah bingung Mas Wildan pergi kemana."
"Oke Bi makasih, saya mau sereal aja nanti kalo udah siap kasih tau ya."
Bi Imah mengangguk takzim lalu bergegas menyiapkan apa yang kumau. Aku duduk di kursi menunggu Bi Imah sembari berpikir ada apa dengan Mas Wildan, pesannya terasa normal tapi mengapa aku merasa mengganjal?
Aku segera mengetikkan pesan pada Sherly.
Diandra Wijaya : Sher lo sibuk ga?
Pikiranku menerawang membayangkan apa yang sedang dilakukan Gerald saat ini. Kemarin ia sangat membuat diriku tenang dengan sikapnya yang normal seolah semua masih seperti biasa. Meski ia tak bisa menutupi gurat lelah di wajahnya, ia tetap tersenyum untukku. Hatiku terasa sakit mengingat tingkahku yang kekanakan selama ini, tentu saja aku menyusahkan Gerald dengan apapun yang sedang dilakukannya saat ini.
Getar notifikasi handphoneku menyadarkanku kembali.
Sherly Adriana : Gak. Napa?
Diandra Wijaya : Main kesini dong.
Sherly Adriana : Sekarang?
Diandra Wijaya : Tahun depan.
Sherly Adriana : G lucu.
Diandra Wijaya : Dih gue ga ngelucu
Sherly Adriana : Ya ntar gue kesana abis mandi
Diandra Wijaya : Ok
Aku mematikan handphoneku lalu makan sereal yang sudah disajikan Bi Imah. Terasa lezat makan semangkuk sereal rasa madu ini setelah seminggu aku kurang asupan. Aku jadi geli mengingat kelakuanku.
Aku mendengar suara pintu samping terbuka. Merasa penasaran, aku menghentikan makanku dan menuju sumber suara tersebut. Sedikit terkejut saat kulihat Mas Wildan tergesa-gesa masuk tanpa mempedulikanku yang baru saja mau membuka mulut untuk menyapanya. Ia berlari kecil ke kamarnya dan tak kembali. Hal ini tentu membuatku penasaran. Aku berjalan menyusulnya dengan membawa mangkuk serealku.
"Mas Wildaaan,"
"Apa dek?" Teriaknya dari dalam kamar.
"Diandra boleh masuk gak?"
"Ya, gak dikunci kok."
Aku membuka pintu dan masuk untuk menyusul Mas Wildan yang sekarang duduk di bean bagnya.
"Darimana Mas?"
"Tadi keluar bentar,"
"Subuh gitu?"
"Iya,"
"Kemana?"
"Ke rumah Gerald."
Mendengar ia mengucapkan nama itu membuatku antusias.
"Mas, jujur deh ke gue. Ada apa sih sebenernya?"
Ia menatap wajahku sebentar lalu menggulir layar handphonenya. Entah untuk apa.
"Gue gak boleh bilang sih. Tapi gue ngerasa lo punya hak disini, jadi gue bilang sekarang."
Aku membulatkan mata berharap itu bisa membantuku untuk fokus pada Mas Wildan yang akan memberitahu rahasia besar Gerald selama seminggu kemarin.
"Lo belum sepenuhnya aman. Makanya Gerald pergi ngehindar biar lo gak diganggu,"
"Siapa yang mau gangguin gue?"
"Lo udah bener bongkar pelakunya adalah Karen. Tapi lebih dari itu dek, nyawa lo sekarang dalam bahaya."
Aku menggeleng tak mengerti maksudnya. Nyawaku dalam bahaya karena apa, bukankah Karen sudah mengakui kesalahannya?
"Lo bilang kan kalo Karen gak pernah serius mau bunuh lo? But the fact is, you're still playing the game. Dia emang udah kebongkar rahasianya, tapi musuh sebenernya bukan dia. Lo diincar sama orang yang disewa Karen buat nyelakain lo."
Jantungku berdebar dengan keras saat mendengar perkataannya. Siapa lagi yang mengincarku? Apa salahku hingga aku diburu banyak orang?
"Siapa Mas?"
"Gue juga gak tau dek, kata Karen sih namanya Stella. Tapi seinget gue lo gak punya musuh atau kenalan dengan nama Stella kan? Jadi gue heran aja. Seminggu kemarin Gerald berusaha ngelacak jejak Stella diem-diem. Dia juga gak mau lo terlibat biar lo tetep aman. Tapi ternyata childish lo muncul lagi, pake acara mogok makan segala. Akhirnya gue telfon dia buat dateng karena gue udah gak tau gimana bikin lo makan kaya biasanya."
Aku meringis malu mendengarnya. Tapi sepertinya Mas Wildan tak akan marah dalam waktu lama padaku.
"Maaf deh Mas gue khilaf. Tapi seriusan nih gue mau dibunuh orang yang namanya Stella?"
"Yup. Dan gue sama Gerald gak bisa lapor polisi karena nanti Karen sendiri juga ikut keseret dalam kasus ini sementara kita udah sepakat buat maafin dia dengan syarat lo akan baik-baik aja."
Bulu kudukku meremang saat membayangkan aku diincar wanita jahat bernama Stella. Otakku memutar kembali memori saat aku makan dengan Gerald di restoran lalu ada wanita yang memperhatikanku dari balik mobil. Kalau dugaanku benar, harusnya ia adalah Stella. Begitu pula saat aku diawasi seseorang dari belakang sewaktu aku bersepeda hari itu. Ya, bisa saja dia Stella. Tapi apa motifnya mengincarku? Nama itu terasa familiar di telingaku padahal aku benar-benar tak pernah memiliki kenalan bernama Stella.
"Heh kok diem aja? Gak usah cemas ya, gue jagain lo kok."
Mas Wildan mengacak rambutku pelan lalu pamit untuk mandi. Aku mengangguk padanya lalu turun lagi ke bawah untuk mengembalikan sereal yang sudah lembek dan tak menggoda lagi untuk ku makan.
Tepat saat aku meletakkan mangkukku di meja, Sherly mengagetkanku dari belakang. Hampir saja kulayangkan sendok untuk mengetok kepalanya itu. Ia datang lebih cepat dari perkiraanku.
"Nih gue kesini disuruh apa?"
"Bantuin Mbak Nur nyapu noh," kataku sambil menunjuk ke arah Mbak Nur yang asyik menyapu ruang tengah.
"Serius?"
Terkadang aku gemas dengan kepolosan Sherly yang cenderung bodoh.
"Ya nggak lah. Temenin gue, suntuk. Ayo ke kamar," ajakku.
Sherly mengoceh sepanjang jalan menuju kamarku. Ia mengatakan ingin mengajakku nonton drama korea terbaru yang rilis bulan ini. Dasar Sherly, bagaimana bisa aku asyik nonton drama saat pikiranku masih kalut begini. Kata-kata Mas Wildan tentang Stella mengiang di kepalaku. Siapa Stella?
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?