Aku membaca kembali surat yang kuterima kemarin, menimbang-nimbang apakah perlu aku memberitahu Gerald tentang ini. Tapi nyatanya aku mengurungkan niatku. Aku tidak boleh lemah, akan kuselesaikan sendiri permainan ini.
Otakku terus dipenuhi pikiran siapa pelaku sebenarnya dan apa tujuannya. Aku tidak berani asal menuduh karena akulah targetnya di sini. Siapapun dia, pasti telah menunggu saat aku dalam keadaan lengah lalu menyerangku. Aku mencoba mengenali satu per satu lawanku.
Elian Bagaskara mungkin bisa kucurigai mengingat rekam jejaknya yang hampir berbuat tidak pantas padaku waktu itu. Ia juga terkesan masih menyimpan perasaan kalau dilihat dari cara memandangku. Bahkan dugaanku menguat saat isi surat yang kubawa adalah menyuruhku untuk menjauh dari Gerald. Bisa saja ia cemburu dan ingin menyakitiku agar berpisah dari Gerald secepatnya.
Bersasarkan penuturan Gerald mengenai Karen, aku tidak bisa begitu saja mengambil kesimpulan. Aku tidak mengenalnya dengan baik dan tidak bisa menuduhnya karena cerita Gerald. Entah mengapa aku merasa Karen ingin menyampaikan sesuatu tapi selalu dihalangi oleh ketidakpercayaan Gerald dan Mas Wildan. Sedangkan Karine, aku bahkan tidak punya data sedikitpun mengenainya selain ia adalah mantan pacar Gerald.
Aku membaringkan tubuhku di kasur dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Pikiranku terlalu kalut saat ini sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. Kudengar pintu kamarku diketuk. Aku membukanya dan menjumpai Mbak Nur berada di depan kamar
"Ada tamu mau ketemu Mbak Diandra,"
"Siapa?"
"Yang kemarin ngantar waktu Mbak Diandra pingsan. Bawa bunga lho, hehehe"
Mbak Nur tertawa sambil menggodaku. Itu pasti Elian. Gawat kalau Mas Wildan atau Gerald bertemu dengannya bisa-bisa Elian pulang tinggal nama.
"Mas Wildan sama Gerald kemana Mbak?"
"Di kamarnya Mas Wildan lagi main PS,"
"Bagus deh. Jangan sampe mereka keluar sebelum tamunya pulang ya Mbak,"
"Siap bos,"
Aku tersenyum pada Mbak Nur lalu berjalan ke ruang tamu. Kulihat Elian duduk di sana sambil membawa buket bunga mawar putih.
"Elian?"
Ia menoleh lalu menatap ramah ke arahku.
"Rumah sepupu lo bagus Di,"
Oh ayolah aku yakin itu cuma basa-basi. Aku tersenyum.
"Ada perlu apa ya?"
"Ini bunga buat lo. Gue khawatir pas lo pingsan waktu itu. Maaf baru bisa jenguk sekarang. Lo gapapa kan?"
"Iya gapapa cuma kena bius aja kemarin. Makasih ya bunganya, lo mau minum?"
"Gak usah Di, gue cuma sebentar kok. Cepet sembuh ya, apapun yang lagi lo alami, keep strong. Gue yakin lo tabah,"
"Iya makasih," kataku singkat tanpa kehilangan rasa ramah.
"Kalo gitu gue pamit pulang ya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam,"
Aku mengantarnya sampai pintu kemudian melihatnya pergi menjauh. Kenapa ia bersikap baik kalau ingin menyakitiku? Ah entahlah aku harus menyembunyikan bunga ini di kamar.
Kubuka pintu kamarku dan aku sangat terkejut melihat Gerald duduk di ranjang menatap tajam ke arahku. Untuk berbalik pun aku tak bisa karena sudah terlanjur ia melihatku. Apakah ia tahu Elian baru saja berkunjung? Matilah aku.
"Darimana?"
Aku. Mencoba. Serileks. Mungkin.
"Dari depan. Nemuin tamu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?