Dia terbaring tanpa sedetikpun membuka mata. Hanya hening ditambah suara mesin pendeteksi detak jantung yang terdengar begitu memilukan. Hembusan napasnya juga bergantung pada ventilator itu. Tidak. Ia tak boleh tampak menyedihkan hanya karena hidupnya seolah bergantung pada alat-alat penopang kehidupan itu.
Miris rasanya. Aku harus menangis tertahan di sampingnya. Mencoba menguatkan diri dengan mengatakan semua akan baik-baik saja. Nyatanya Tuhan tak kunjung membuat baik keadaan. Pasrah? Aku tidak selemah itu. Apapun akan ku lakukan untuk mengembalikannya seperti dulu, sekalipun aku harus menjungkir balikkan dunia ini.
Kalau kalian berpikir semuanya sudah baik-baik saja, maka itu salah. Pertemuan itu, lamaran itu, dan semua hal manis yang terjadi sebenarnya tak pernah ada. Aku bersusah payah menciptakan happy endingku sendiri dengan menceritakan hal-hal yang baik untuk membahagiakanku. Karena yang sebenarnya terjadi adalah ia sudah terbaring di ranjang itu selama satu minggu terakhir.
Malam itu saat aku bertemu dengan Pak Darmawan, semuanya berjalan dengan baik. Namun siapa sangka saat aku membuka pintu yang terlihat hanyalah Eric dengan wajah paniknya. Tentu saja aku bingung, sebenarnya apa yang dibicarakan Pak Darmawan terkait cucunya yang akan datang waktu itu.
Dengan suara bergetar Eric mengatakan bahwa mobil yang ditumpangi Gerald tak pernah sampai pada titik penjemputan. Gerald mengalami kecelakaan bersama seorang supir yang mengantarnya. Rencana pertemuan yang disusun dengan rapi olehnya hancur berantakan karena musibah itu.
Memang manusia yang merencanakan, tapi Tuhan tetaplah yang memutuskan. Aku tidak tahu mengapa hidupku begitu tidak adil. Tidak cukupkah selama dua tahun aku terlunta-lunta tanpa hadirnya? Lalu apa maksudnya saat aku menerima kabar yang terdengar hanyalah suatu kehancuran?
Geraldku tak pernah mau membuka mata dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Di sinilah aku, setiap hari menunggu keajaiban dirinya agar tersadar dari koma. Persetan dengan semua perkataan dokter yang mengatakan kemungkinannya untuk bangun sangatlah kecil. Aku punya Tuhan dan aku yakin Dia tidak akan membuatku terlalu lama dalam kesusahan.
Setiap hari Eric mengantarku ke rumah sakit, menceritakan hal-hal yang sebenarnya terjadi dua tahun lalu. Sungguh, mendengar cerita Eric membuatku berharap aku bisa mendengarnya langsung dari bibir lelaki yang ku cintai itu. Semua hal, yang harusnya ku ketahui dari Gerald diutarakan jelas oleh Eric.
Ia bilang Gerald sangat mencintaiku. Bagaimanapun kepergian Gerald ke Jerman dan Paris waktu itu sangat beralasan. Hingga keinginan Gerald untuk menikahiku dan memeluk keyakinan yang sama sesuai ajaranku. Aku hancur, harapan yang dipendam oleh Gerald seakan pergi bersama dengan kondisinya yang rapuh saat ini.
Kalaulah ada ceritaku yang menjelaskan bagaimana Gerald melamarku, itu semua hanya di imajinasiku. Aku bahkan tak lagi bisa membedakan mana khayalan dan kenyataan. Anggaplah aku gila, aku takkan peduli. Yang aku mau hanya ia bangun dan mewujudkan semua anganku.
Orang tuaku berkali-kali mencoba menyadarkanku agar aku ikhlas dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Tidak. Geraldku tidak boleh kemana-mana. Aku tahu ia sudah koma selama tujuh hari. Aku bahkan tidak peduli jika ia koma seratus tahun asalkan aku tetap bisa melihatnya di dunia ini.
Gerald hanya milikku. Tak boleh ada yang merenggutnya sekalipun Tuhan yang menginginkan. Setiap malam aku berdoa agar ia bangun dan menghapus air mataku, memelukku erat sebagaimana mestinya. Aku rindu dirinya dan semua yang ada padanya.
Ku pandangi wajahnya yang tenang dalam tidur itu. Ia tetap saja tampan meski lebih kurus dan pucat.
"Ger.. kamu gak mau bangun kenapa sih?"
Dengan pelan aku mengelus kepalanya, berharap ia tak merasakan sakit karena sentuhanku. Namun ia tetap saja diam tak mempedulikanku.
Aku benci pada diriku sendiri. Rentetan kejadian buruk selalu menimpaku dan orang-orang yang ku sayang. Aku hanya.. tak mau ditinggal pergi siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?