39

20 4 0
                                    

Berkali-kali aku menyesap cokelat panasku. Memang tak ada yang lebih menenangkan selain secangkir cokelat panas saat pikiran sedang gamang. Kejadian terakhir antara aku dan Eric menyisakan kebimbangan pada diriku. Belum, aku belum memberikan jawaban padanya. Untungnya tadi Mas Wildan juga bersikeras mengajak pulang saat melihat air mukaku yang keruh.

"Mau cokelat lagi? Lo udah habis dua cangkir btw."

Suara Mas Wildan mengejutkanku. Ia masuk ke kamar membawa secangkir cokelat panas yang lain. Aku hanya menggeleng enggan menerima cokelat yang dibawanya. Tidak, nanti aku kembung kebanyakan minum.

"Emang lo gak cerita sih, tapi gue tau apa yang terjadi. Sini," ia menepuk tempat di sebelahnya menyuruhku untuk duduk.

Aku menghampirinya yang kini duduk di tepi ranjang. Membaringkanku lalu ia berbaring di sampingku. Seketika aku merasa dêja vu, bedanya kali ini tak ada Gerald di sisi kananku.

Lagi-lagi kami mengulang hal bodoh empat tahun silam yaitu menatap kosong ke langit-langit kamar. Aku hanya tak mengerti apa yang sedang terjadi saat ini. Bisakah aku membenarkan apa yang sedang terjadi?

Luka yang dibuat Gerald belum juga sembuh. Masih sakit dan perih saat disentuh. Namun Eric datang tanpa mengutak-atiknya, ia datang tanpa sekalipun menyentuh luka lamaku.

Aku hanya.. merasa menemukan diri Gerald disana, dalam dirinya. Tutur katanya, sikapnya, dan hal-hal kecil yang biasa dilakukan Gerald telah kutemukan pada dirinya. Tak bisa dipungkiri, aku merasa nyaman dengannya meski baru seminggu ini bertemu.

Namun tentu saja aku akan menghianati janjiku sendiri jika aku menerima pernyataan cintanya. Aku akan menghianati Gerald jika aku menerimanya menjadi pacarku. Mungkin kalian berpikir bahwa toh aku sudah bukan pacarnya lagi lalu untuk apa aku menunggunya?

Nyatanya perasaanku tak sedangkal itu. Aku jatuh cinta pada Gerald dengan segala risiko yang harus kutanggung. Aku juga telah merasakan patah hati yang sepadan dengan dalamnya rasaku padanya. Memang bukanlah kesalahan jika aku membuka hati untuk orang lain. Tapi tidak secepat ini. Tidak setelah dua tahun aku tertatih membiasakan diri tanpa kehadirannya.

Kadang aku merasa bahwa mencintai semua orang akan terasa lebih mudah daripada melupakan satu orang. Mungkin itu benar adanya karena hingga saat ini Gerald masih mendiami hatiku. Seberapa keras aku mencoba mengusirnya, ia tak beranjak justru makin menancapkan jangkarnya pada hatiku. Maka saat aku memaksakan diri untuk mengusirnya dari hidupku, akan ada hati yang terkoyak terluka dan hancur tak bersisa. Aku takkan pernah sama seperti dulu.

Lalu akankah sesingkat ini penantianku? Apakah akan semudah ini aku menyerah dengan perasaanku padanya? Aku hanya rindu, butuh ia datang dan menjelaskan apapun yang tak sempat disampaikan. Aku ingin ia datang dengan pelukan yang selalu membuatku tenang.

Di sisi lain Eric mengatakan agar aku menuliskan happy endingku sendiri pada kehidupan ini. Tidaklah salah jika aku bermimpi dan mengusahakan happy ending yang kuinginkan. Namun aku juga tak tahu rencana apa yang sedang dijalankan oleh Tuhan. Dia begitu mudah menuliskan takdir manusia. Lantas kami yang menjalani, dibuat bingung oleh setiap percabangan nasib yang ada.

Dahiku disentuh tangan yang dingin milik Mas Wildan. Aku melirik ke arahnya, ia tetap terpaku menerawang ke atas.

"Lo tau gak sih Di, pas Gerald pergi malem itu? Gue juga berasa hancur. Dia bahkan gak mengucapkan apapun ke gue,

"Kalaupun dia lagi ada masalah, gue mau bantuin. Pasti gue mau. Tapi dia sekalipun gak pernah cerita. Sedih lah yang jelas.

"Gue ngerasa gagal sebagai sahabat dia. Kenapa gue gak ada waktu dia lagi butuh bantuan, siapa tahu kan. Kenapa gue gak inisiatif tanya ke dia lagi ada problem atau gak. Gue baru nyesel setelah dia hilang tanpa kabar gitu."

Air mataku menetes. Kalimat-kalimat Mas Wildan terasa bagai tamparan untukku. Kesalahanku pula mengapa aku tak pernah sesekali bertanya bagaimana dirinya, apa kabarnya, dan hal-hal kecil lain yang bisa membuatnya merasa nyaman. Selama bersamaku ia tak pernah sekalipun berkeluh kesah. Aku terlalu sibuk menuntutnya memahami diriku tanpa aku melakukan hal yang serupa.

Dan kini saat ia tak lagi disini bersama kami, begitu terasa dan tampak apa-apa saja yang mungkin kami lakukan dulu. Kami kecewa, tapi kepada diri kami sendiri. Kami kecewa, karena ia tak mau jujur dan terbuka tapi memendam apa yang ia rasakan sendiri.

"Gue emang kecewa sama dia. Tapi gue jauh lebih kecewa pas dia pergi ninggalin lo. Gue gak bisa lagi ngelihat lo hancur kaya dulu sampe suram gitu.

"Gue sedih ngelihat lo kaya gitu. Jadi sekarang, apapun yang bisa bikin lo bahagia gue setuju-setuju aja. Lo emang gak bisa lupain masa lalu, tapi lo bisa menyembuhkan dengan orang baru.

"Gue lihat lo bahagia banget tadi. Ketawa lepas, hal yang gak pernah gue lihat dua tahun belakangan. Jadi, apapun keputusan lo gue pasti bakal dukung asalkan itu bisa bikin balik Diandra yang riang kaya dulu."

Aku mengusap air mataku dengan tangan yang seolah tak mau berhenti membanjiri pelupuk mataku. Bagaimanapun cintaku untuk Gerald, selalu untuknya. Lalu bagaimana aku bisa menerima orang lain saat hatiku masih mengharap kedatangannya kembali?

Mas Wildan bangun dan mengecup keningku sebentar lalu pergi dari kamar. Meninggalkanku sendiri bersama kebimbangan hati. Kuambil handphoneku untuk menelepon Eric. Berharap keputusanku kali ini tidak salah.

"Halo?"

Aku diam, menimbang bagaimana menjawabnya dengan benar.

"Diandra?"

"E-eh iya,"

"Ada apa?"

"Gue.."

"Kalo emang lo gak berkenan sama gue tadi, gue minta maaf ya,"

"Gue yang minta maaf, gue tadi bingung lo tiba-tiba bilang gitu,"

"Lo gak harus bingung kok, karena gue tahu hati lo masih terluka."

"Ric..."

"Dia beruntung banget bisa dapet cewek sebaik lo. Gue selalu ada kok kapan pun lo butuh, gak usah sungkan."

"Ric dengerin gue,"

"Iya, iya Di."

"Gue terima. Gue mau jadi pacar lo,"

"Are you serious?"

"I'm afraid so. Gue serius,"

"Jadi, lo udah nerima gue?"

"Udah,"

"Makasih, makasih banyak."

"Iya, gue mau tidur."

"Oh iya, silakan. Sleeptight."

"Iya, thank you."

Tut.

Tirai jendela melambai-lambai mempersilakan angin malam masuk menemaniku dengan keputusanku. Memainkan rambutku dengan lembut, seolah menyampaikan rasa dukanya padaku.

Aku memejamkan mata mencoba menikmati hampa yang begitu terasa. Mencoba berdamai dengan duka dan nestapa. Melalui angin ini, kutitipkan salamku padanya, pada ia yang selalu ada dalam hati dan pikiranku. Melalui angin ini, aku minta izin darinya untuk mencari kebahagiaan yang baru tanpa hadirnya di sisiku.

Hiduplah dengan baik Sayang, maaf aku memberi ruang bagi orang lain di hatiku untuk meneruskan kisah kita yang berhenti di tengah jalan.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang