Gerald berangsur-angsur pergi menyusul Mas Wildan di sudut ruangan dan Karine yang kemudian berdiri di sampingku dengan takut. Aku sudah jengah dengan semua ini. Mengapa semua orang penuh kepalsuan, aku benci melihatnya.
"Terserah, kalo gak ada yang mau jelasin biar gue sendiri." Ucapku dengan kesal. Bagaimana aku tidak kesal, tidak ada yang mau mengatakan hal sebenarnya di sini.
"Sebelumnya gue mau bilang makasih ke Karen karena dia gak sampe hati mau bunuh gue. Tapi tetep aja, lo harusnya bisa bunuh gue pake truk atau mobil," aku menatap tajam ke arah Karen yang masih dengan wajah ketidaktahuannya itu. Sekarang aku mungkin tampak seperti bermonolog.
"Gue selalu benci dengan kepura-puraan Karine di masa lalu dan Karen di masa sekarang. Biar gue ceritain lagi kelamnya masa lalu ke kalian, kakak-kakak.
Karen, Gerald, dan Wildan adalah tiga sahabat yang saling mendukung dan melengkapi. Tanpa pernah Gerald tahu, ternyata Karen menyimpan perasaan dari kelas 10. Suatu hari Gerald jatuh cinta pada cewek cantik namanya Karine Natania. Gak berselang lama mereka jadian. Dibalik bahagianya Gerald, ada Karen yang tetap tegar dan bisa nerima patah hati yang dibuat Gerald secara tidak sadar,"
Aku diam sebentar dan menatap empat orang di ruangan ini dengan geram.
"Tapi Karine gak pernah suka ngelihat Gerald dekat dengan cewek manapun selain dirinya. Dia benci ngeliat Karen yang masih mendapat rasa sayang Gerald meski sebagai sahabat.
Karine yang muda dan labil berubah jadi kejam sama Karen," kali ini aku menatap intens Karine yang tertunduk di sebelahku.
"Lo siksa dia. Lo ngebully dia tiap hari, tiap pulang sekolah lo selalu nyiksa Karen secara fisik dan mental. Bener aja kalo Karen nyuruh Gerald buat putus dari lo. Tapi Gerald emang buta sama cinta. Dia gak peduli sama cicitan Karen yang nyuruh putus beberapa kali.
Lo makin menjadi saat Gerald ngomong perihal Karen yang minta biar kalian putus. Tanpa pikir panjang lo udah merencanakan siksaan lebih parah buat Karen. Serius gue gak habis pikir sama kejiwaan lo Rin,"
Samar-samar aku mendengar Karine terisak.
"Malam itu lo bawa Karen ke tempat sepi ditemani temen lo yang sama jahatnya kaya lo. Dengan balok kayu yang ada, lo mau bikin Karen celaka. Orang waras bakal ngelawan kalo disakitin kan, Karen berusaha mencegah lo dengan merebut balok itu lalu mukul lo duluan. Tanpa dia sadar ternyata pukulannya lumayan bagus sehingga bisa bikin patah tulang tangan lo yang nakal itu.
Tapi lo penuh akal licik Rin. Lo telfon Gerald dan bikin seolah-olah Karen yang jahatin lo. Lebih kasihannya lagi, Gerald percaya gitu aja dan nyalahin Karen yang tanpa dosa itu. Wildan yang harusnya jadi penengah ikutan emosi dan benci Karen saat itu juga. Poor Karen, dia gak dipercaya dua sahabat yang harusnya ada buat dia setiap dia mengalami masalah. Gerald lebih milih Karine daripada sahabatnya sendiri. Tapi gue bersyukur sih Gerald putus sama lo pas tahu lo selingkuhin dia. Setidaknya Gerald terbebas dari orang kaya lo,"
Terdengar suara Gerald dari belakangku
"Gue udah tahu itu Di. Gue tahu semuanya. Lo kenapa mau nyakitin Karen?"
Aku berjalan ke arahnya dan menatap manik indah milik Gerald. Mata yang selalu aku sukai.
"Karena ceritanya gak berhenti di situ."
Aku kembali ke posisiku semula dan menyuruh Karine untuk duduk di ranjang empuk milik Karen. Aku hanya kasihan melihatnya berdiri dalam waktu yang lama.
"Saat gue tahu Gerald dapat surat kaleng, gue mengabaikan karena merasa konyol sama pengirimnya. Gue justru curiga sama Elian yang pernah nyakitin gue beberapa kali. Tapi semuanya jadi lebih masuk akal saat gue ketemu lo di supermarket waktu itu, dan kalo gak salah orang suruhan lo yang ngawasin gue waktu makan bareng Gerald. Ya kan Ren?"
Karen masih terdiam dan menatapku dengan gugup.
"Lalu surat kaleng yang gue terima. Gue berani bertaruh lo waktu itu siapin obat bius buat gue dengan kedok parfum. Buat mahasiswa kimia kaya lo bukan hal sulit saat membuatnya kan? Wangi parfum itu tercium di amplop surat yang lo kasih ke gue. Untung gue gak mabuk karena baunya justru tercover sama tumpahan kopi satpamnya Wildan,"
Aku kembali melihat Mas Wildan dan Gerald yang sekarang fokus mendengar suaraku.
"Tenang, biar gue ingatkan lagi apa aja yang udah terjadi sampe bikin kita semua capek dan merasa gak aman,"
Aku menghela napas sebelum bercerita dengan panjang lagi.
"Gue sempat curiga sama Elian waktu gue kena bius yang ditembak ke leher waktu itu. Siapapun yang ngelakuin, gak sopan banget nembaknya di tengkuk gue. Tapi kecurigaan gue gak terbukti karena Elian sendiri datang dan minta maaf ke gue besoknya karena gak bisa jenguk, dia takut dihajar sama Mas Wildan.
Inget juga waktu gue ditabrak? Harusnya kalo si pengirim surat pengen gue mati, nabraknya gak gitu. Itu cuma niat bikin gue jatuh aja. Lebih konyolnya lagi handphone si penabrak dibuat seolah-olah habis berkomunikasi sama bosnya. Dan nama yang tertera adalah Karine. Pernah gak sih lo mikir, seorang pembunuh bayaran gak mungkin namain kontak bosnya pake nama asli. Selamat Karen, lo berhasil ngelabuin Gerald saat itu.
Terakhir adalah waktu gue di rumah sakit. Lo datang kan malam itu saat gue gak ada yang jagain. Gue jadi tau kenapa kepala gue sakit banget saat itu. Wangi parfum yang lo siapin, gue hafal banget setelah mencium aroma surat kaleng kemarin. Lalu kenapa cuma gue yang pingsan? Karena lo pake masker yang nutupin seluruh muka dan lo juga matiin AC di ruangan itu. Well done Karen, lo berhasil lukain tangan gue sebelum gue pingsan-"
Aku terhenti ketika mendengar isak tangis Karen yang keras itu. Bisa kulihat ia menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba membantah semua perkataanku.
"Boleh gue bilang lo pengen balas dendam ke Gerald dan Karine. Tapi gak gue juga yang lo jadiin samsak. Terlebih gue sedih pas lo nuduh Karine gitu aja. Lo punya bukti cukup kuat yang bisa jerat Karine tapi sayangnya lo ada halangan yang cukup usil yaitu gue.
Gue tau lo masih gak terima akan perlakuan Karine bertahun lalu. Gue juga tau lo masih sakit hati sama Wildan dan juga Gerald. Tapi balas dendam ke mereka juga bukan hal yang bisa dibenarkan Ren, yang ada malah lo gak beda sama Karine di masa lalu.
Gue gak tau lo ngomong apa aja sama Gerald kemarin. Tapi gue disini cuma bilang apa yang gue tau. Sekarang semuanya gue balikin ke lo. Dan lo Rin, gue berharap lo minta maaf sama Karen. Gue.. gue juga minta maaf udah ngomongin ini semua. Permisi."
Aku meninggalkan kamar itu dan pergi keluar untuk menghirup udara segar. Rasanya sesak sekali di dalam melihat satu persatu kebenaran terungkap dari mulutku sendiri. Bagaimana seorang sahabat bisa sangat kejam kepada sahabatnya sendiri. Semua hal mengerikan itu.. aku tidak mau mengalaminya seperti mereka. Aku terduduk di teras rumah Karen dan menangis, menangisi kelemahanku sendiri. Merasa kasihan pada diriku bagaimana aku bisa melukai harga diri Karen dan Karine tadi.
Angin malam menerpa wajahku. Aku mengusap air mata yang tak kunjung hilang ini berharap hari yang lebih baik akan segera datang. Tiba-tiba Mas Wildan datang dan menarikku dalam pelukannya. Kutumpahkan semua emosiku di ceruk lehernya yang basah karena air mataku.
"Sshh, udah. Semua udah selesai, gak usah nangis. Lo selama ini kuat kenapa sekarang mewek coba?"
Baru saja aku mau menjawab perkataan Mas Wildan, aku melihat Gerald keluar dari pintu dan memandangku sekilas lalu pergi. Ia masuk ke dalam mobil dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Mas Wildan hanya menatap kosong ke jalanan yang lengang itu.
Tak berselang lama, Karine juga muncul dengan wajah sembap. Ia memelukku sambil menangis sesenggukan.
"Makasih, makasih banyak Diandra. Gue berutang budi sama lo," ucapnya di sela-sela tangis.
"Iya Rin. Makasih juga udah bantuin gue," kataku sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Karine melonggarkan pelukannya lalu menjabat tanganku dengan erat. Ia juga tersenyum dengan muka yang memerah karena menangis. Setelah itu ia menatap ke arah Mas Wildan untuk pamit pulang.
"Dan makasih banyak ya. Gue pulang sendiri aja. Jagain Diandra, jagain Gerald juga." Katanya sambil tersenyum tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?