14

51 8 0
                                    

"Ya?"

"..."

"Bukan urusan lo."

"..."

"Terus?"

"..."

"Cih, jangan harap gue percaya lagi sama lo."

"..."

"Gue sibuk."

Aku sibuk menguping Gerald yang sedang menelepon. Tadi aku sempat melihat layar handphonenya yang menyala menandakan ada panggilan masuk. Disana tertulis 'Karen' yang aku tidak tahu siapa dan apa hubungannya dengan Gerald.

Obrolan Gerald dengan seseorang yang kuketahui bernama Karen di telepon tadi mengusik pikiranku. Mengapa Gerald bisa sedingin itu pada perempuan? Tapi yang lebih mengganjal adalah siapa sebenarnya Karen. Mungkin hanya perasaanku, tapi aku merasa ada yang tidak beres di sini. Hati mengatakan bahwa siapapun Karen ia pasti ada hubungannya dengan teror yang kualami. Aku memang tidak tahu pasti, hanya kata hati. Lagipula Gerald adalah pacarku. Ia tidak boleh sembarangan bertelepon ria dengan cewek lain.

Aku berdiri dibalik partisi kayu yang memisahkan ruang tengah dengan ruang tamu. Untungnya Papa menggunakan partisi berupa kayu yang disusun tidak menutup seluruhnya sehingga cahaya masih bisa masuk. Hal itu memudahkanku untuk mengintip handphone Gerald tadi.

Telingaku masih mempertajam pendengaran, sesekali kudengar Gerald mengembuskan napasnya secara kasar. Aku bergegas mengetikkan nama Karen pada search bar instagramku untuk mengetahui siapa dirinya. Pandanganku terfokus penuh pada layar handphoneku.

"Diandra?"

GERALD DISAMPINGKU?! Aku hampir saja melempar handphoneku karena kaget setengah mati. Bodohnya aku kenapa sampai tidak sadar Gerald sudah di dekatku seperti ini.

"E.. eh Ger,"

"Kamu ngapain?"

"Ngadem," aduh jawaban bodoh, aku sangat gugup saat ini.

"Ngadem? Nempel dinding gitu?"

"I.. iyalah kan dindingku dingin."

"Wahai Diandra kenapa kamu bego. Gabisa bohong kamu."

"Ih beneran aku gak ngapa-ngapain."

"Yaudah yaudah aku ga peduli. Mau ke belakang dulu," katanya sambil beranjak meninggalkanku.

"Ikuuut"

Aku menyamakan langkahku dengan Gerald. Ia hanya tertawa kecil sambil terus melangkah ke taman belakang rumahku. Di taman belakang aku memiliki kolam kecil berisi ikan-ikan milik Papa. Di sampingnya ada ayunan untuk bersantai. Kondisi tamanku terawat, rindang dan sejuk sehingga cocok untuk bersantai. Ternyata sudah ada Mas Wildan yang tiduran di ayunan sambil memetik senar gitar.

"Halo abang," kataku memanggil Mas Wildan.

"Eh elo dek. Sini gue udah lama gak smack down elo. Kapan ya terakhir?" ia bertanya pada dirinya sendiri, "eh pas lo SD kan ya."

"Ah bilang aja kangen gue."

"Yee bocah,"

Aku berjalan menghampiri Mas Wildan sambil tertawa-tawa. Ia bergeser untuk mempersilakanku duduk disampingnya. Sementara itu, Gerald mengambil alih gitar dan memainkannya di kursi santai dekat ayunan.

"Lo udah gede ya dek. Dulu lo masih kaya anak monyet."

"Sembarangan, lo ngatain nyokap gue monyet dong Mas. Awas lo gue bilangin Mama," ancamku tidak terima.

Gerald yang melihat kami berdua spontan tertawa sambil terus memainkan gitar. Mas Wildan sendiri panik berusaha meralat perkataannya.

"Yee enggak gitu. Masa Tante Almira yang cantik gue samain kaya monyet. Yang ada tuh elo bayi monyet yang ditemuin keluarga Om Haris terus diadopsi deh."

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang