43

26 5 0
                                    

"Eric.. dia pacar aku sekarang. Kamu datang terlambat," kataku parau.

Tidak mungkin aku membuat Eric sakit hati jika aku kembali pada Gerald. Memang, cintaku jauh lebih besar pada Gerald dibanding padanya. Namun aku tak sampai hati kalau membuat Eric terluka nanti.

"Nggak. Kata siapa aku terlambat?"

Aku mendengus kasar, "terima takdirnya Ger, kamu pergi dan aku butuh melanjutkan hidup. Eric ada buat aku dan dia gantiin posisi kamu saat ini,"

Meski berat, aku harus mengatakan itu untuk membuatnya sadar. Gerald tak bisa seenaknya menggusur tempat orang lain saat ia justru pergi dari tempat itu dulu. Aku mencintainya, tapi tidak untuk melakukan hal nekat seperti itu. Gerald juga bersalah atas keputusanku menerima Eric enam bulan lalu.

"Besok aku jemput jam 8. Sekarang kamu masuk, istirahat. I love you,"

"Gerald.."

"No Diandra, jangan melihat aku seperti itu. Aku gak mau terima apapun alasan kamu. Besok aku jemput kamu di sini jam 8 dan kamu harus siap."

Aku mengangguk pasrah dan turun dari mobil untuk masuk ke dalam rumah. Apapun yang akan terjadi, aku tak ingin melukai hati siapapun nanti.

***

Pagi ini aku terbangun dengan kepala pusing dan sempoyongan. Badanku terasa tidak enak dan meriang karena kebanyakan menangis semalam. Aku bergegas mandi meski menggigil dan berganti pakaian. Setidaknya aku harus terlihat segar hari ini.

Kuambil tas dan handphoneku lalu berjalan ke depan untuk menunggu Gerald datang. Tak kusangka ternyata ia sudah tiba lebih awal dari seharusnya. Kulihat ia berbincang santai dengan Bi Imah di dapur.

"Gerald?"

"Oh, hei. Aku kira belum bangun,"

"Kok sepagi ini? Masih jam setengah delapan juga,"

"Aku mau makan toast ala Bi Imah."

Aku menahan geli mendengarnya berkata seperti itu. Bagai anak kecil merindukan ibunya. Lalu aku sadar bahwa Gerald memang kehilangan ibunya.

"Mau sarapan dulu? Aku temani," kataku mencoba menetralisir pikiranku yang mengasihani Gerald.

Ia mengangguk senang dan menarik kursi untukku duduk. Ia duduk di depanku sambil menunggu Bi Imah selesai menyiapkan sereal untukku.

"Kamu makan teratur selama ini?"

Aku mengangguk pelan padanya.

"Pantes,"

"Apa?"

"Chubby gitu," kekehnya.

Aku merasa malu saat ini. Berarti Eric berbohong saat mengatakan aku tidak gendut kemarin.

"Aku suka kamu yang chubby. Bisa ditowel-towel pipinya,"

Serius aku kehilangan nafsu makan saat ini. Rasanya aku ingin diet begitu ia mengatakan secara tak langsung bahwa aku mengalami kenaikan berat yang berlebih.

"Jangan cemberut. You're still perfect to me. Tuh serealnya udah siap, makan gih."

Aku hanya menatap mangkuk serealku. Menu sarapan yang sama sejak aku masih duduk di bangku SD. Kalau dihitung maka aku sudah menghabiskan 3/4 hidupku untuk menyantap kudapan manis dengan susu itu. Seketika selera makanku benar-benar hilang dan kini aku tak mau makan.

"Jangan dipikir ah yang barusan. Jadi gak mau makan gitu,"

"Kamu sih," decakku.

"Mau tau sesuatu yang langka?"

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang