Pulangnya Sherly yang mendadak karena omnya sakit membuatku sendirian lagi. Aku meminta maaf tidak bisa ikut dengannya untuk menjenguk karena Mas Wildan melarangku pergi, untuk keselamatanku katanya. Jadilah aku disini, di kamar yang membosankan menonton kartun yang sama sejak satu jam lalu. Bosan. Sendirian. Tanpa teman.
Lalu aku teringat lagi akan Stella atau siapapun itu yang ingin melenyapkanku. Tidak habis pikir saja, bagaimana mungkin aku yang bahkan satu bulan lalu masih bisa dengan bebas melakukan apa saja, sekarang terkungkung di tempat ini untuk menghindari percobaan pembunuhan yang dilakukan orang tak kukenal? Perutku mulas jika mengingat kembali apa saja yang kualami belakangan.
Anehnya, semua kejadian itu terjadi karena aku adalah pacar seorang lelaki bernama Geraldy David Sebastian. Maka bisa dipastikan penyerangan terhadapku adalah bersumber darinya. Mungkinkah Gerald mempunyai musuh? Sebagai anak band yang banyak fansnya, tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi. Tapi terlalu tega jika seorang fans sampai melakukan tindakan penyerangan yang brutal semacam ini, aku kan juga punya hak untuk hidup.
Menghubungi Karen pun aku tak boleh. Mas Wildan maupun Gerald sepakat untuk sebisa mungkin menghindarkanku dari masalah. Kalau seperti ini bisa-bisa aku mati duluan karena penasaran. Kusesap cokelat panasku yang mulai dingin itu. Aku berada di balkon depan sendirian dan kedinginan bagai anak kucing kehilangan induk. Tak bisa kubayangkan bagaimana reaksi orang tua dan kakakku jika mengetahui aku mengalami rangkaian hari-hari yang buruk belakangan ini.
Mataku memejam, mencoba meredam semua emosi dan pikiran negatifku. Aku hanya boleh berpikiran baik agar bisa memikirkan masalah ini dan mencari jalan keluarnya. Otakku memutar kembali semua data yang kuketahui. Benar, harus ada data agar semua ini bisa masuk akal. Dugaanku adalah wanita di dalam mobil waktu itu, dan hanya itu yang kutahu. Lalu apa yang harus kulakukan untuk mencari tahu siapa dia?
Kak Andreinata is calling...
Aku mengerutkan dahi menatap layar handphoneku diatas meja. Buru-buru kugeser tanda hijau untuk mengangkat teleponnya.
"Halo"
"Kamu dimana dek?"
"Di Mas Wildan lah,"
"Yaudah kirain sendirian di rumah,"
"Ada apa?"
"Just make sure you're alright, ok?"
"Kangen kak,"
"Sama. Aku sekarang di Bandung,"
"Ngapain?"
"Ke rumah camer dong, hahaha"
"Siapa pacar lo? Dih sok banget,"
"Velda namanya. Cantik beuh,"
"Cantikan Diandra."
"Iya cantikan Diandra,"
"Hehehehehe,"
"Udah dulu ya, Kak Andre sibuk. See you in a month, jangan lupa kewajibannya. Jangan ngerepotin Wildan mulu,"
"Iya, bubye Andre."
"Bubye."
Tut
Suara berat miliknya sangat kurindukan. Aku tak ubahnya anak kecil saat sudah bersamanya. Rentang usia kami yang cukup jauh membuat ia kadang canggung denganku. Tapi tetap saja aku percaya ia menyayangiku dengan caranya sendiri.
Kak Andre setahuku sering gonta-ganti pacar. Tapi tak ada yang lebih mengena dibanding Anastasia, mantan pacarnya dua tahun lalu. Anastasia berusia dua tahun lebih muda darinya. Ia pernah beberapa kali main ke rumah untuk sekadar berkunjung dan membawa makanan. Tapi sayang, hubungan mereka putus ditengah jalan karena suatu hal yang tak kumengerti. Lagipula aku juga tak terlalu mengenal siapa dirinya.
Namun yang terpenting bagiku saat ini adalah menemukan siapa yang mengincarku. Aku adalah target, dan tentu sudah tugasku untuk menunggu. Maka aku akan seharian di rumah menunggu bahaya datang kepadaku. Percayalah, ini akan membosankan.
Aku hendak pergi dari tempat dudukku untuk mengembalikan cangkirku ke dapur ketika aku mendengar teriakan dari dalam rumah. Tanpa mempedulikan cangkir itu aku bergegas melihat apa gerangan yang sedang terjadi saat ini. Mas Wildan berlarian dari kamarnya menuruni tangga dengan wajah panik. Melihat itu aku segera menyusulnya dengan langkah cepat karena kakiku belum sembuh total sehingga aku tak bisa berlari.
Dengan sedikit kesulitan aku sampai di anak tangga paling bawah. Aku sangat terkejut melihat wajah Mbak Nur -asisten rumah tangga yang bertugas menyapu- bersimbah darah. Rahangku mengatup melihat pemandangan mengerikan itu. Mbak Nur pingsan dan dibaringkan di ruang tengah sembari dibersihkan mukanya dari darah yang mengotori. Tidak, itu bukan darahnya sendiri. Mas Wildan memegang kotak kecil dengan tetesan darah di sana. Sepertinya teror yang baru telah datang. Tolonglah, aku lelah dengan semua ini.
Kuhampiri Mas Wildan yang serius mengamati kotak itu. Sesekali ia membuka-tutup kotak itu dan mengamatinya lagi. Aku memberanikan diri untuk mendekat guna meminjam sebentar kotak sialan yang menyebabkan Mbak Nur pingsan karena kaget.
"Pinjem bentar dong,"
"Lihat deh Dek, cerdas dia. Dibikin kaya bom biar pas dibuka langsung cairannya nyemprot ke muka si penerima,"
Aku mengamati dengan saksama. Benar saja, ada semacam kayu yang dipasang pada tutupnya berfungsi untuk memberikan tekanan pada kantung kecil di dalam kotak yang berisi darah sehingga saat tutup kotak itu dibuka maka darah akan menyemprot dari kantung tersebut. Malang nian nasib Mbak Nur ini.
Otakku berpikir keras mungkinkah ini akal Stella? Kalaupun iya maka aku mendapat lawan yang pintar saat ini. Tidak seperti Karen dulu. Aku kembali menatap Mas Wildan yang kini tampak sibuk dengan handphonenya.
"Ngehubungin siapa Mas?"
"Gerald," jawabnya singkat.
"Gue perlu tau semua tentang Stella. Ini bakal jadi lebih sulit. Gue udah jengah sama orang-orang kaya dia,"
"Nanti Gerald kesini. Lo bebas tanya apa aja ke dia. Kan seminggu ini dia nyari Stella."
Aku mengangguk. Dalam hati aku tidak membenarkan tindakan Gerald yang terlalu tergesa-gesa. Kalau dulu ia bisa mengamatiku tanpa aku sadari, aku merasa sekarang ia terlalu terang-terangan dalam melakukan pengintaian. Bukan seperti ini caranya, tapi biarlah setidaknya ia punya data yang berguna untukku nanti.
Jam menunjukkan pukul 2 siang ketika Gerald datang dengan menggunakan topi serta pakaian hitam-hitam bersama seorang pria. Aku tak melihatnya membawa mobil ataupun motor, saat kutanyakan hal itu ia hanya menjawab bahwa ia datang bersama teman naik taksi.
Kami berempat -aku, Gerald, Mas Wildan, dan entah siapa dia- duduk di sembarang tempat di kamar Mas Wildan. Kami membahas tentang hasil yang didapat oleh Gerald selama ini.
"Kenapa kita gak tanya ke Karen aja siapa si Stella ini," tanyaku pada siapapun yang mau menjawab dari tiga pria di sekitarku ini.
"Karen aja kenal Stella dari temen dia yang laki. Awalnya emang Karen cuma minta bantuan dari Tristan, yang nabrak kamu kemarin. Tapi ternyata Tristan ini bawa-bawa Stella. Entah kenapa katanya Stella punya masalah sama kamu dan pengen celakain kamu. Karen nurut aja, tapi dia gamau sampe kamu terbunuh atau terluka parah. Beda sama pikiran Stella yang emang niat bunuh kamu. Akhirnya mereka putus hubungan kerja gitu lah. Dari situ kamu punya dua musuh."
Gerald menjawab dengan menundukkan kepala. Aku tahu ia sedih, aku beralih duduk disampingnya dan membisikkan bahwa aku baik-baik saja, ia tak perlu cemas.
"Dia Eric, yang bantuin kita." Kata Mas Wildan mengenalkanku pada lelaki yang datang bersama Gerald tadi.
Aku tersenyum pada Eric yang kukira umurnya tak jauh beda dengan Gerald. Astaga, selama ini aku terlalu banyak berteman dengan orang yang usianya jauh diatasku.
"Ini gue bawa data-data tentang Stella. Lo bisa baca dulu sementara gue bakal jelasin rencana kita,"
Aku menerima laptop yang diberikan Eric untuk membaca file yang ditunjukkan padaku. Seketika jantungku berdetak keras, mataku menatap layar laptop tak berkedip. Terjadi lagi, kisah yang sama seperti sebelumnya. Apakah aku memang ditakdirkan bermasalah dengan orang dari masa lalu? Mengapa mereka semua tampak sama, jahat, kejam, dan memiliki kecenderungan untuk menyakiti?
Tanganku tergerak untuk menggulir kontak di layar handphoneku. Andre harus pulang malam ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?