12

72 10 0
                                    

Aku berada di Semarang lebih lama dari rencana awalku. Selama itu pula tidak terjadi apa-apa padaku. Maksudku, benar-benar tidak ada hal yang menarik selain aku tinggal di rumah nenek bersama keluargaku. Semuanya benar-benar statis hingga akhirnya pulang kembali ke kotaku.

***

Hari ini aku sendirian lagi di rumah. Hujan deras yang turun sejak semalam masih belum berhenti membuat siapapun malas beraktivitas pagi hari. Aku pun demikian, hanya tiduran di kamar sambil menatap ke arah jendela untuk melihat butir-butir air yang jatuh. Dulu waktu aku kecil, bermain hujan adalah favoritku. Berada di bawah guyuran air dan berlarian bersama kakakku. Tapi sekarang, saat kami beranjak dewasa semua itu tinggal kenangan. Andre sudah punya kehidupan sendiri dan aku yang harus terus berkembang untuk hidup di jalanku sendiri.

Udara pagi ini terlalu dingin, membuatku bergelung di bawah selimut untuk menghangatkan diri. Mataku berat sekali rasanya hingga aku tanpa sadar mulai kehilangan fokus dan hampir tertidur saat aku mendengar bunyi klakson sangat keras berulang kali dari jalanan depan rumah. Siapa juga orang gila yang jam 5.40 pagi melakukan hal bodoh seperti itu? Ini lingkungan sepi, bisa dihakimi massa kalau membuat keributan.

Aku mengambil payung dan membuka pintu depan yang masih terkunci. Astaga Gerald! Setengah berlari aku menuju pagar untuk membukanya. Begitu terbuka sempurna, bukannya membawa mobil masuk ia malah turun dan menghampiriku.

"Masuk buruan."

"Kenapa?" Aku setengah berteriak mengimbangi suara derasnya hujan.

"Masuk dulu."

Ya Tuhan aku bahkan masih memakai baju tidur. Segera aku mengunci pintu pagar lalu menyusul Gerald yang sudah berada didalam mobil. Tanpa banyak bicara ia segera melajukan mobilnya menembus rinai hujan dan dinginnya pagi.

"Mau kemana?" Tanyaku tak sabar.

"Aku kangen."

Demi apapun aku hanya ingin menempelengnya dengan sekuat tenaga.

"Apa?!"

"Mau ke rumah. Udah diem aja kamu."

Apa yang salah dari diriku, kenapa aku bisa berpacaran dengan orang yang sesukanya macam ini?

"Aku aja belum ganti baju Ger!"

Entah mengapa aku jadi ikut-ikutan menggunakan aku-kamu.

"Kamu mau pake baju bagus atau enggak juga tetep cantik," sahutnya tanpa menatapku. Ia hanya fokus mengemudi.

Aku hanya diam dan memendam semua kekesalan. Bukannya aku salah tingkah, tapi memang aku heran dengan Gerald yang seperti ini. Ia membuatku marah dan tersanjung dalam waktu bersamaan.

***

"Mas Wildan?"

Mataku menangkap sosok yang sangat kukenal sedang duduk membelakangiku di ruangan yang tidak asing lagi bagiku. Benar saja, pria itu menoleh ke arahku. Aku yang terlampau penasaran sudah tidak peduli lagi dengan pakaian yang kukenakan. Segera aku mengambil tempat di samping sepupuku itu.

"Pagi banget ada apa? Gue bahkan belum mandi."

"Sorry ya dek. Tapi ini penting."

"Sepenting apa sampe temen lo bikin berisik satu RT gara-gara klakson mobilnya?"

"Kamu udah mancing masalah."

Bukan, itu Gerald yang menjawab yang entah darimana asalnya tiba-tiba duduk di sampingku. Aku segera pindah menghadap mereka berdua untuk menyimak dengan baik.

"Jadi apa kesalahan gue?"

Mereka berdua mengambil posisi duduk dengan santai sedangkan aku dilanda ketidaktahuan yang terus menerus membuatku merasa bodoh.

"Entah. Aku gatau ini masalah baru apa masih yang dulu. Aku curiga Elian masih ngincer kamu. Wildan tadi malem nemuin surat di depan pintu rumah. Isinya singkat, tapi bikin kita gak tenang sampai akhirnya aku jemput kamu tadi buat pastiin kamu baik-baik aja."

"Oke, isi suratnya adalah?"

Mas Wildan mengambil secarik kertas dari saku dan memberikannya padaku. Di sana tertulis:

Hi Ger, better you save your girlfriend before it's too late.

Ha! Ini pasti hanya lelucon. Orang bodoh mana yang percaya dengan kalimat yang bodoh juga?

"Kalian percaya ginian?"

"Umm.. secara mengejutkan, iya."

"Terus? Ini paling cuma orang iseng. Lagian siapa yang tau kalo gue pacarnya Gerald?"

Aku tak habis pikir saja. Maksudku, hei ini konyol. Surat kaleng seperti ini di zaman serba canggih? Lebih baik pengirimnya mengancam lewat sosmed seperti yang sering terjadi belakangan. Setidaknya mereka itu sama, sama-sama pengecut.

"Diandra, ini serius. Mengingat lo terancam terus beberapa waktu lalu, gue jadi beneran khawatir sama lo. Kalo terjadi hal buruk, gue bakal bilang apa ke bokap sama nyokap lo? Bisa dicoret nama gue dari keluarga besar Reksa Wijaya,"

"Dan kamu juga harus tau, aku pernah ngeliat Elian di sekitar rumah kamu waktu kamu ke Semarang. Aku gatau dia mau apa, tapi dia cuma diem di pinggir jalan sambil lihatin rumah kamu."

Aku yang awalnya meremehkan berubah jadi bergidik ngeri ketika mendengar nama Elian. Semua menjadi masuk akal saat mereka cemas akan keselamatanku. Rumahku dan Elian terpaut jarak yang tidak dekat. Apa tujuannya kalau hanya berdiri mematung lalu pulang lagi? Benarkah Elian ingin mencelakaiku dengan memata-matai terlebih dulu? Rasa itu muncul lagi, seketika tubuhku lemas dan otakku memutar kembali kejadian di malam penampilan band Gerald. Peluhku menetes, jantungku berdegup dengan cepat, aku merasa darahku menguap dari tubuh. Mataku terasa berat karena air mata sudah menggenang di sana ingin tumpah. Bahkan aku bisa mendengar suara Elian menggema di kepalaku. Aku hanya.. sangat takut.

"Hei, jangan takut Sayang. Ada aku di sini."

Entah sejak kapan tapi Gerald sudah ada di sampingku dan menepuk pundakku untuk membuatku lebih tenang. Ia mengubah posisinya dan memelukku.

"Maaf ya udah bikin kamu takut gini. Ada aku, kamu gabakal kenapa-napa. Aku janji."

Ia mengelus kepalaku. Aku takut Gerald, aku takut Elian kembali menyakitiku. Kamu harus tahu itu! Aku mau kamu selalu di dekatku..

Berada dalam pelukannya memberiku rasa tenang, seolah semua akan baik-baik saja. Tapi lagi-lagi bayangan akan Elian membuatku gentar. Aku takut kalau nanti ia berbuat lebih nekat lagi daripada sebelumnya.

"Diandra, I promise you. Aku janji kamu bakal selalu aman. Kalo perlu aku bakal tinggal lagi di rumah kamu sama Wildan. Biarin tuh apa omongan tetangga, aku cuma mau kamu aman."

Mendengar perkataan Gerald, aku melepaskan pelukannya. Kutatap wajah itu, wajah yang seringkali membuatku kesal. Gerald selalu punya cara untuk membuatku merasa tenang. Biarlah Elian ingin mengacau hidupku, aku punya Mas Wildan dan Gerald sebagai penjagaku!

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang