Aku bangun di pagi hari dengan kepala pusing. Kupikir lari-lari sebentar akan menyegarkan diri. Aku mencuci muka dan sikat gigi lalu ganti pakaian bersiap untuk jogging. Bi Imah yang sedang memasak di dapur tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Mau jogging Mbak?"
"Eh iya Bi"
"Oh yaudah hati-hati. Kata Mas Wildan jangan jauh-jauh kalo pergi. Kemarin waktu Mbak Diandra belum pulang dari rumah temennya Mas Wildan sempat telfon saya,"
"Iya Bi. Cuma keliling aja kok."
Aku berjalan ke depan lalu mulai berlari ringan menyusuri jalanan sepi ini lagi. Kulihat beberapa orang membawa anjingnya untuk berjalan-jalan. Udara cukup sejuk sehingga membuatku tetap merasa dingin. Tiba-tiba ada yang menyejajarkan posisi denganku, seorang wanita.
"Halo lagi"
Suaranya cukup familiar. Aku menengok dan betapa terkejut ketika yang menyapaku barusan adalah orang yang kutabrak saat di supermarket tempo hari.
"Mbak Leticia bukan?"
"Haha iya, panggil aja Leticia."
"Kok bisa ketemu disini ya?"
Sambil berlari kecil kami saling mengobrol.
"Rumah gue daerah sini. Lo juga?"
"Enggak sih. Di rumah sepupu,"
Kami terus berlari sampai akhirnya lelah dan beristirahat di tepi jalan.
"By the way, siapa sepupu lo? Kali aja gue kenal,"
"Wildan Ferdinata. Rumahnya di sana tuh yang pagar hitam nomor 4."
"Oo Wildan yang itu. Kalo rumah gue dari perempatan depan belok kanan, lurus terus ada rumah pager biru yang halamannya ada pohon mangga."
Aku hanya manggut-manggut mengerti. Rumah itu kemarin sempat kulewati saat bersepeda. Jadi Leticia tetangganya Mas Wildan. Kalau begitu aku harus menanyakan pada Mas Wildan nanti saat dia pulang.
Kami mengobrol sebentar lalu ia pamit pulang terlebih dulu. Aku pun segera pergi kembali ke rumah untuk mandi dan sarapan.
***
Sejak pagi aku hanya nonton tv dan makan. Bisa-bisa berat badanku bertambah kalau begini caranya. Hari mulai sore, karena aku sangat kurang kerjaan jadi aku memaksa Pak Diman untuk beristirahat sementara aku akan melakukan pekerjaannya yaitu menyiram bunga di taman depan.
"Jangan Mbak, nanti saya dimarahi Mas Wildan," ucapnya dengan mimik takut.
"Ah gapapa kan saya yang mau. Mas Wildan gak di rumah Pak, santai."
Aku mengambil alih selang air dan mulai menyiram tanaman yang ada. Sayup-sayup kudengar pedagang bapao meneriakkan dagangannya. Aku tiba-tiba berselera untuk makan bapao. Kumatikan keran lalu aku berjalan ke depan untuk menghentikan pedagang yang sudah lumayan jauh.
Ia berhenti di depan rumah berjarak 3 rumah dari tempatku. Aku berjalan untuk menghampirinya. Aroma bapao terasa wangi membuatku ingin segera makan sampai puas. Aku membeli sepuluh untuk dimakan bersama para asisten Mas Wildan.
Saat aku berjalan kembali ke rumah, aku melihat Elian berdiri di samping sepeda motornya. Ada perasaan takut menjalari tubuhku tapi kutepis dengan berpikiran positif tentangnya. Ia melihat ke arahku sambil tersenyum lalu berjalan mendekat hingga akhirnya sampai di depanku.
"Hai Diandra, apa kabar?"
Aku sedikit gugup karena takut padanya.
"Baik El. Lo sendiri? Kok di sekitar sini ngapain?"
"Tadi abis nganterin barang ke rumah orang. Oiya Di, lo mau maafin gue nggak?"
"Iya," jawabku sambil menahan sedih.
Sejujurnya aku ingin menangis mengingat kelakuannya. Tapi bagaimana lagi, siapa tahu ia sudah menyesal dan memperbaiki diri.
"Maafin gue. Gue janji gak bakal ganggu lo lagi. Hidup gue gak akan tenang sebelum lo maafin gue."
Aku tidak merasa ia menyembunyikan apapun dariku. Sorot matanya juga normal. Aku cukup yakin ia jujur dan tulus saat ini.
"Gue maafin El," aku tersenyum.
Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu menusuk leher belakangku. Kepalaku jadi pusing dan pandanganku kabur. Dengan kesadaran yang tersisa aku mencabut apapun itu yang menempel di leherku. Sesuatu yang kecil seperti jarum ditusukkan seseorang padaku. Pandanganku semakin buram dan gelap. Aku hanya bisa mendengar suara Elian memanggilku berulang kali dan semakin samar. Lalu semuanya gelap dan aku tidak mendengar atau melihat apapun.
***
Kurasakan tanganku digenggam seseorang. Astaga aku pasti pingsan setelah terkena jarum sialan itu. Aku membuka mataku perlahan dan tersadar aku berada di kamar. Kulirik tanganku yang terasa lain, ternyata Gerald memegang tanganku dan tertidur di sampingku. Dengan pelan aku menarik tanganku lalu melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 1. Tentunya ini sudah malam. Lalu apa yang terjadi padaku?
Aku berniat membangunkan Gerald tapi ia tidur dengan sangat nyenyak. Ia pasti kelelahan baru datang. Bahkan jam tangannya masih menempel, bajunya juga belum diganti. Kuselimuti ia dengan perlahan, wajahnya sungguh polos saat tidur tidak seperti ia dalam keseharian yang tengil. Kukecup lembut keningnya dan beranjak meninggalkan kamar untuk mengambil minum di dapur.
Namun sebelum aku berhasil pergi, Gerald memegang tanganku lagi. Dia ini tidur atau tidak sih? Aku kembali membaringkan diri disampingnya. Kudengar ia bergumam dalam tidur atau lebih tepatnya ia berbicara padaku dalam kondisi sedang tidur dengan suara lirih.
"Jangan pergi disini aja,"
"Kamu tidur apa nggak sih?"
"Ini meditasi."
"Masih sempet bercanda kamu,"
"Aku capek. Banget. Temenin aku,"
"Iya."
Aku kemudian memiringkan tubuh menghadap Gerald yang juga miring ke arahku. Kalau sedekat ini aku bisa mati karena jantungku berdebar dengan keras. Dengan tanganku yang lain aku mengusap rambutnya. Rambut yang selalu dipupuk shampo olehnya.
"Ger?"
"Hm?"
"Kalo aku pergi dari kamu gimana?"
"Pergi dari kamar?"
"Enggak. Kalo kita putus gimana?"
"Jangan. Nanti aku sedih."
"Cari pacar yang baru,"
"Tapi aku maunya kamu,"
"Hm"
"Jangan bicara yang enggak-enggak. Aku gak suka," ia melepaskan genggamannya lalu menarikku dalam pelukan.
Aku bahkan bisa merasakan detak jantung dibalik dada bidang itu. Napasnya pelan dan teratur. Tanpa ia sadar aku kehabisan napas karena sangat gugup. Melihat kami bisa sedekat ini dan aku yang semakin menyayanginya membuatku merasa sedih. Isi surat kemarin dan kejadian tadi sore membuatku berpikir apa mungkin itu saling berhubungan? Lalu mengapa ada orang yang tidak suka dengan hubunganku dan Gerald? Aku menangis dalam diam. Sebisa mungkin aku menahan diri agar tak terisak dan membangunkannya. Lama-lama aku mengantuk dan jatuh tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?