22

27 7 0
                                    

Karine datang hari ini sesuai janji. Ia selalu cantik meski hanya memakai celana santai bercorak floral dan kaus putih polos. Hari ini aku akan belajar berjalan bersamanya. Aku menyuruhnya untuk masuk ke kamar dan melakukan semua kegiatanku di sini saja. Bahaya kalau Gerald dan Mas Wildan melihatnya. Bisa kalap mereka nanti.

"Kok lo tau kalo gue kuliah fisioterapis?"

"Sorry ya, gue kepoin instagram lo. Eh ini gue manggilnya pake Kak atau nggak?"

"Karine aja gapapa. Di rumah sakit udah sempat latihan jalan?"

"Udah,"

"Bagus deh. Ayo"

Ia menuntunku perlahan-lahan. Aku sempat kesulitan melakukannya. Kakiku terasa kaku dan aneh saat digerakkan seolah ini kali pertama aku belajar berjalan. Tak jarang aku hampir terjatuh tapi Karine dengan sigap menolongku.  Sepanjang pagi aku terus latihan dibantu oleh Karine. Semangatku untuk sembuh sangat besar. Aku harus pulih secepatnya untuk menyelesaikan masalahku.

"Hmm, Rin" kataku setelah ia mendudukkanku kembali di kursi roda.

"Apa?"

"Kita perlu bicara,"

***

Dua hari ini aku menghabiskan waktu di kamar untuk latihan menggerakkan kakiku agar terbiasa seperti semula. Karine sangat telaten dalam merawatku hingga saat ini aku bisa berjalan meski sangat pelan dan agak pincang. Tak apa, itu kemajuan buatku daripada aku hanya duduk diam kehilangan harapan.

Selama dua hari pula saat Karine datang aku melarang Gerald ataupun Mas Wildan menyusulku ke kamar. Aku hanya tidak mau terjadi perang didepanku. Gerald berkali-kali mencoba membujukku agar aku mengizinkannya berbicara pada Karine. Dengan dalih aku cemburu dan marah, aku melarangnya mendekati Karine apapun alasannya. Aku juga menjadi sangat manja pada semua orang di rumah ini. Mas Wildan bahkan sampai heran kenapa aku jadi aneh.

Mereka semua tidak tahu kalau aku menjalankan rencana besar untuk mengungkap siapa pelakunya. Entahlah aku benar atau tidak, tapi instingku jarang meleset. Aku hanya perlu sedikit mengulur waktu untuk ini semua.

Siang ini aku melihat Gerald bersiap untuk pergi. Aku dengan sikap overprotektifku menghampirinya -tentu saja dengan kursi roda- bertanya akan kemana ia.

"Karen ngajak ketemu sekarang,"

"Cuma berdua?"

"Iya."

"Aku ikut,"

"Kamu masih sakit, Diandra"

Aku mengeyel dan memaksa untuk ikut. Tapi tak seperti biasanya, Gerald tegas melarangku saat ini.

"Kalo aku gak boleh ikut, kamu gak boleh pergi."

Ia menghela napas. Aku tahu ia kesal, tapi percayalah aku tidak mau ia kemana-mana saat ini. Aku mau ia menemaniku karena Mas Wildan hari ini menjemput Kak Sarah di bandara yang waktu tempuhnya bisa empat jam dari rumah ini.

"Diandra kamu jangan egois gini dong,"

Aku memaksakan diri turun dari kursi roda. Ia membantuku saat tahu aku hampir terjatuh.

"Hei duduk aja jangan berdiri, kamu mau apa?"

"Aku mau latihan jalan sekarang. Sama kamu,"

"Kamu jangan rewel gini ah aku mau ada urusan ini sama Karen."

"Aku mau latihan jalan sekarang sama kamu," aku memberi penekanan pada setiap kata yang kuucapkan.

Kalau Gerald kesal saat ini, itu sudah pasti. Tapi biarlah, aku hanya mau ia menurutiku sekarang.

"Tapi Di,"

"Aku cuma mau ditemenin kamu," entah mengapa air mataku turun saat mengatakan itu.

Gerald kaget melihatku menangis lalu memelukku dengan hati-hati. Ia melempar kunci mobil ke sembarang arah dan mengusap kepalaku dengan pelan.

"I'm here, I'm here" katanya.

Jadilah rencanaku melarang Gerald pergi berhasil. Ia menelepon Karen agar mengundur pertemuannya menjadi besok malam, ia harus menjagaku saat ini karena Mas Wildan sedang pergi. Gerald mendudukkanku kembali di kursi roda lalu berjalan mendorongku keluar rumah agar aku tak bosan.

"Kemana ya Di? Kamu punya saran?"

"Terserah kamu aja," kataku pelan.

"Ikut aku ya, jangan nolak"

Aku mengangguk.

Gerald menghampiri Pak Diman dan mengobrol singkat dengannya. Aku hanya memperhatikan karena tidak bisa mendengar apa yang mereka obrolkan.

"Ayo, Pak Diman udah nyiapin mobil."

"Mau kemana?"

"Kerumahku," katanya sambil tersenyum.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang