Sore ini kakakku Andre menelepon, katanya dia di rumah sakit karena kecelakaan. Tentu saja aku terkejut dan menanyai bagaimana kondisinya. Dengan tertawa ia bercerita tentang musibah yang menimpanya. Beruntungnya ia tak terluka parah sehingga masih bisa terbang ke Semarang menyusul Ayah dan ibuku lalu melanjutkan pengobatan di sana. Lagi-lagi mereka melarangku untuk menyusul. Sebagai gantinya, kami berkomunikasi lewat panggilan video.
Ada satu lagi yang membuatku kesal. Orang tuaku berencana tinggal lebih lama di Semarang untuk mengurus nenek di sana dan baru pulang ke rumah nanti setelah lebaran. Bulan puasa saja masih dua minggu lagi tapi mereka baru akan pulang setelah lebaran? Tidak akan! Aku harus menyusul mereka secepatnya. Besok juga aku akan ke Semarang.
Aku memberi tahu Gerald tentang rencanaku berangkat menyusul orang tuaku dan menanyai kapan ia akan pulang dan pergi dari rumahku. Bukannya mengusir, tapi tidak enak saja dengan tetangga. Gerald bukan keluargaku tapi ia tinggal di rumahku dengan waktu yang lama. Untungnya Gerald bisa memahami kekhawatiranku. Ia bahkan menawari untuk mengantarku ke stasiun saat keberangkatanku besok.
Praktis, malam ini jadi malam terakhir aku bertemu Gerald karena besok aku akan pergi.
"Beneran besok mau pergi?"
"Iyalah. Kan udah beli tiket juga."
"Lama gak?"
"Paling seminggu. Lagian kalo di rumah terus bisa bosen. Masuk kuliahnya masih lama. Kak Gerald emang gak bosen di sini?"
"Kan ada kamu. Ngapain bosen."
Pipiku terasa panas. Buru-buru aku menunduk dan menyibukkan diri lagi dengan koperku.
"Besok berangkat jam berapa?"
"Siang kok. Lo jadi nganter gue Kak?"
"Jadi lah. Ini malam terakhir loh, gak pengen jalan gitu?"
"Kemana?"
"Nonton?"
"Yaudah yuk. Gabut juga di rumah."
Aku menurut saja untuk menyenangkannya. Kuambil jumper dan sneaker ku lalu pergi bersama Gerald. Aroma parfumku, parfum Gerald, dan harum mobilnya bercampur jadi satu. Wewangian yang akrab di hidungku beberapa waktu belakangan. Aku akan merindukan hal ini.
Kami sampai di bioskop jam 19.30. Masih ada 40 menit lagi sebelum film yang akan kami tonton dimulai. Ia memutuskan untuk membawaku berkeliling sebentar di taman dekat bioskop ini.
"Ini mau ngapain coba? Gabut banget jalan di taman."
Mendengar pertanyaanku ia menoleh dan tersenyum. Tolong, jangan senyuman itu lagi. Kau tahu rasanya saat ada sesuatu di dalam perutmu. Kupu-kupu itu!
"Gue marah sama lo."
"Lah kenapa?"
Aku tidak merasa membuat satu kesalahan pun tapi kenapa ia jadi marah? Kemana juga aku-kamu nya yang menggelikan?
"Lo gak pernah peduli kalo gue pengen manis gitu sama lo. Lo juga gak menganggap gue ini pacar lo. Gue mau putus."
Ha? Aku diputus oleh laki-laki? Harga diriku dipertaruhkan saat ini. Bagaimanapun aku mencoba tetap terlihat biasa saja.
"Yaudah putus gapapa. Maaf kalo gue ternyata kaya gitu."
"Tuhkan. Nih ya kalo gue mau, gue lampiasin semua yang gue pendem ke lo sekarang juga."
"Yaudah silakan. Gue terima."
"I love you."
Aku tidak salah dengar?
"Apa?"
"I love you, Diandra."
"Gerald? Are you ok?"
"I love you."
Aku hanya bisa diam. Benarkah apa yang dikatakannya? Aku hanya trauma dicintai.
"I love you, Diandra."
"Iya.."
"Itu keselnya gue ke lo. Gue sayang sama lo, Di. Gue gamau lihat lo nangis gara-gara cowok atau karena siapapun. Gue mau terus lindungin lo. Gue gamau sehari aja gak ngelihat lo."
Berhenti Gerald! Aku benci melihatmu jadi manis seperti ini.
"I love you."
Ia masih terus mengatakan hal itu. Aku juga Ger, aku jugaaa. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.
"Iya.."
Lalu semua terjadi begitu saja. Gerald memelukku dan mengusap lembut kepalaku. Ia bahkan tak kunjung melepas pelukannya. Aku bisa merasakan ketulusan dari Gerald. Jika ada yang tidak suka melihatku saat ini, aku tidak peduli. Siapapun dia, Elian, atau fans Gerald yang banyak itu. Malam ini aku hanya mau mengakui kalau Gerald adalah pacarku, milikku.
"Jadi putus ga nih?"
Gerald melepas pelukannya, menatapku dengan heran. Lalu memelukku lagi dan berbisik.
"Ditunda dulu aja putusnya, nanti kalo udah gak cantik baru gue putusin."
Aku menjambak kecil rambutnya dan dia mengaduh sambil tertawa. Kali ini ia benar-benar melepas pelukannya.
"Tapi kayanya bakal cantik terus sih. Terus kapan gue mutusin?"
Aku tertawa. Hei itu bahkan tidak lucu. Selera humorku jadi turun belakangan ini. Aku lalu berjalan menuju bioskop dan meninggalkannya sendirian.
"DIANDRA, I LOVE YOU!"
Aku tidak peduli lagi. I love you too Ger!
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Teen FictionMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?