20

40 8 0
                                    

Gadis itu tinggi semampai seperti model. Sepertinya ia memang model. Pantas saja Gerald tergila-gila padanya meskipun Karen juga cantik. Gadis yang kuketahui sebagai Karine ini wajahnya agak angkuh, kulitnya tidak seputih Karen bahkan cenderung coklat. Tubuhnya proporsional dengan rambut sebahu. Ia tampak cantik memakai dress tanpa lengan yang panjangnya selutut. Rambutnya dibiarkan tergerai menambah kesan memukau.

Gerald menatapnya dalam waktu yang lama. Ah pasti ia terpesona akan kecantikan Karine, bagaimanapun kan mereka pernah berpacaran dulu. Seketika aku merasa sangat kurang dalam menjadi seorang perempuan. Aku tidak pandai berdandan, styleku rendahan, memakai sandal berhak tinggi pun aku terjatuh. Masih untung Gerald mau menerimaku dengan segala kekurangan ini. Tapi tetap saja, ia tidak boleh sembarangan menatap gadis lain. Aku menginjak kakinya dengan kesal.

"Aduh, kenapa?"

"Lihatin aja terus mantannya emang cantik ya kan."

"Iya gak kaya kamu."

Aku kesal mendengarnya bicara seperti itu. Bahkan sekarang si Karine berjalan ke arah meja kami karena melihat Mas Wildan yang masih menatap kearahnya.

Ia berjalan dengan terus tersenyum. Sesampainya ia di meja kami, ia melakukan cipika-cipiki dengan Mas Wildan dan Gerald. Aku menahan amarah melihatnya. Mau-maunya Gerald seperti itu di depanku yang juga pacarnya sendiri! Mas Wildan juga, aku berencana untuk melaporkannya pada Kak Sarah agar ia dimarahi nanti.

"Duduk Rin,"

Gerald menunjuk tempat kosong di sampingku. Sebelum Karine duduk, aku dengan sengaja menumpahkan kopi ke sofanya agar ia tak bisa duduk disana.

"Yah tumpah, sorry" kataku pura-pura bersedih.

Karine menatapku dengan pandangan tak suka. Gerald yang melihat kelakuanku sontak terkejut

"Duduk di kursi gue aja biar gue ambil kursi yang lain."

Gerald benar-benar! Aku sangat ingin marah saat ini juga. Karine dengan tersenyum segera duduk di depanku. Gerald kemudian mengambil kursi lain lalu duduk di antara aku dan Karine.

"Oiya kenalin, ini Diandra-"

"Aku pulang dulu. Gaenak badan."

Aku memotong perkataan Gerald dan bangkit dari tempat duduk. Kulihat sekilas senyum sinis Karine yang menyebalkan itu. Aku berjalan dengan kesal ke arah pintu meninggalkan mereka bertiga. Aku bisa melihat Gerald mengejarku namun aku mempercepat langkah.

Sekeluarnya aku dari coffee shop, aku berjalan dengan air mata berlinang. Berkali-kali aku mengusap dengan kasar air mataku tapi ia tak mau berhenti. Tiba-tiba dari belakang aku ditabrak seorang laki-laki yang mengendarai sepeda motor.

Aku terjatuh ke sisi jalan dan merasakan tubuhku sangat sakit. Tanganku tergores aspal dan terasa perih, lututku terasa nyeri dengan amat sangat setelah menghantam aspal dengan keras. Kepalaku juga pusing tapi aku mempertahankan agar tetap sadar. Lelaki tadi tak sengaja menjatuhkan handphonenya. Dengan susah payah kuraih handphone itu dan mengantonginya. Aku berteriak keras ketika mencoba meluruskan lututku.

Seorang pria yang lewat di jalan memberhentikan motornya dan menolongku. Aku terus berteriak kesakitan karena ia tak sengaja terlalu menekan kakiku. Lalu aku mendengar seseorang berteriak

"DIANDRA!!"

Gerald datang dan langsung menggendongku masuk ke mobil. Ia menelepon Mas Wildan dan mengabari akan pergi ke rumah sakit. Aku terus menangis dan berteriak membuat Gerald mempercepat laju mobilnya. Kalau begini mending aku pingsan saja tadi.

***

Mas Wildan tergesa-gesa datang menemuiku di UGD. Sepertinya ia akan marah lagi padaku. Tuhan, tolong sekali ini saja jangan biarkan Mas Wildan memarahiku di muka umum.

Namun dugaanku salah. Ia berdiri mematung di samping ranjangku dan menatapku sedih. Matanya bahkan berkaca-kaca. Melihatnya seperti itu, aku jadi ikut sedih.

"Lo tuh bandel banget.." hanya itu yang keluar dari mulutnya. Kemudian ia menatap serius diriku.

"Gue pulangin lo ke Semarang secepatnya."

Aku terkejut mendengar perkataannya. Tega sekali ia mengusirku setelah aku celaka seperti ini.

"Plis Mas jangan bilang Mama Papa. Jangan biarin mereka tau,"

"Lo kena masalah terus. Gue takut gabisa jagain lo lagi," suaranya serak. Aku tahu ia sedang sangat marah sekaligus sedih sekarang.

"Nggak Mas. Gue mau selesaiin semua ini,"

"Iya tapi-"

"Diandra mau dipindah ke ruang perawatan. Kakinya cedera," Gerald memotong pembicaraan kami.

Seorang perawat mendorong brankar yang kutempati keluar dari UGD. Ia membawaku ke ruangan di lantai 3 untuk beristirahat. Sepanjang jalan aku hanya diam saja dan sesekali meringis menahan sakit. Gerald dan Mas Wildan berjalan mengiringiku hingga akhirnya kami sampai di ruangan yang telah dipesan untukku.

Dibantu Mas Wildan, perawat tadi mengangkat tubuhku pindah ke ranjang yang ada disana. Tulangku terasa sakit semua. Di tangan kiriku tersambung infus yang aku tidak tahu apa fungsinya. Luka-luka di tanganku sudah di bersihkan tadi dan percayalah, rasanya menyakitkan saat diguyur cairan antiseptik tepat pada luka. Kepalaku pusing, ada sedikit benjolan di keningku karena terantuk aspal. Lututku terasa sakit dan bengkak. Dokter yang mengobservasiku tadi mengatakan ini bukan cedera serius, tapi harus tetap waspada. Aku dianjurkan untuk meluruskan kaki agar tidak terbiasa menekuk. Huh, padahal lebih sakit saat lurus daripada menekuk.

Perawat meninggalkan ruanganku dan membiarkanku ditemani Gerald dan Mas Wildan. Semua akan menjadi rumit sekarang. Gerald duduk di kursi samping ranjangku dan memandangku dalam diam. Aku menatap wajahnya, ia tetap diam dengan ekspresi yang kuartikan sebagai ekspresi kecewa. Ayolah memangnya aku sengaja menabrakkan diri? Tidak kan.

"Kamu kenapa sih tadi pergi gitu aja?" ia mulai berbicara.

"Aku kesel lihat sikap kamu ke Karine,"

"Aku minta dia buat dateng biar dia jelasin ke kita. Aku mau pastiin siapa yang udah neror kamu. Bukan malah gini jadinya. Kamu sabar dong jangan kebawa emosi gara-gara cemburu. Kamu gatau gimana perasaan aku pas lihat kamu geletak di jalan tadi? Aku panik Di, aku takut kamu kenapa-napa,"

Ia mengacak rambut frustasi.

"Kan aku emang udah kenapa-napa,"

"Aku takut kehilangan kamu, Diandra. Please jangan bikin aku kesel kaya gini," suaranya melunak. Ia mengelus jari-jariku.

Kulirik Mas Wildan yang duduk diam di kursi lainnya. Ia benar-benar hanya diam. Kemudian aku teringat handphone pria penabrakku tadi.

"Oiya. Aku punya barang bukti terkait penabrak tadi," kataku memecah keheningan.

Mas Wildan menoleh dan mendekat ke arahku. Aku merogoh saku celanaku. Untung tangan kananku tidak terluka sehingga aku leluasa menggunakannya. Kukeluarkan handphone berwarna gold dengan rubber case dari sana dan menyerahkannya pada Mas Wildan untuk diperiksa. Untung saja masih menyala. Hanya retak sedikit pada layarnya.

Dengan serius ia menatap ke layar handphone untuk mencari informasi yang mengarah pada pelaku. Rahangnya mengeras, matanya berkilat emosi.

"Karine," desisnya.

Aku dan Gerald sama-sama terkejut. Mas Wildan hampir saja pergi dan mengamuk pada Karine kalau Gerald tidak menahannya.

"Baca sendiri," katanya.

Lalu secara bergantian aku dan Gerald membuka pesan dan panggilan di handphone itu. Aku terkejut ketika mendapati pesan yang ditujukan Karine pada pemilik handphone ini, intinya ia meminta pelaku agar menabrakku sampai mati. Untung saja aku tidak mati.

Gerald menatap tak percaya padaku. Ia terpancing emosi, sama seperti Mas Wildan. Tapi aku merasa ada yang janggal disini.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang