40

25 4 0
                                    

Ada yang mengatakan jika cinta datang karena terbiasa. Itu prinsipku saat menerima Eric sebagai kekasih. Kupikir semua akan berjalan dengan baik. Aku akan melupakan kenangan kelam, patah hatiku akan terobati, dan hidupku akan berjalan dengan baik. Nyatanya tidak demikian. Lagi-lagi semesta mencampuri urusan hatiku, urusan hidupku.

Eric yang telah menjadi kekasihku selama enam bulan terakhir sangatlah asing bagiku. Tidak bisa aku mengenalinya dengan baik karena semua yang ia lakukan begitu mirip dan sama dengan Gerald. Tapi aku tak sampai hati menanyakan hal itu padanya. Aku hanya takut ia tersinggung karena bagaimanapun aku akan membandingkannya dengan masa laluku.

Hari demi hari aku terus membohongi perasaanku. Hubungan kami manis tapi tak dilandasi cinta yang tulus seperti aku dengan Gerald di masa lampau. Memang aku menyayanginya, tapi entah sebagai apa. Aku merasa ia bukan dirinya sendiri saat menjadi pacarku. Berkali-kali aku seperti mereka ulang adegan di masa lalu namun dengan aktor yang berbeda. Berkali-kali aku seperti terjatuh dalam lubang yang disebut nostalgia.

Setiap hari saat membuka mata aku selalu menanamkan pada otakku bahwa Eric adalah Eric dan takkan bisa menjadi Gerald yang telah hilang. Bagaimana mungkin dengan kebetulan yang luar biasa aku bisa mengalami hal-hal seperti itu? Sampai detik ini pun aku masih tak tahu bagaimana perasaanku yang sesungguhnya.

Suara lonceng kecil menyadarkan lamunanku. Ada pelanggan yang datang pagi ini untuk mengambil pesanan kuenya. Dengan langkah cepat aku mengambil sendiri kue yang khusus kubuat untuknya. Wanita itu tersenyum saat menerima hasil karyaku.

"Bagus Di, makasih ya. Jadi pelanggan tetap deh gue kalo gini,"

"Iya Ndin, makasih juga. Ntar kalo ada orderan lagi langsung telfon gue gapapa."

"Yup. Gue balik dulu,"

Aku tersenyum dan mengantarnya sampai ke pintu. Kalau kau bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan, maka jawabannya adalah menjadi pemilik sekaligus koki kue, kasir, bagian pemasaran, merangkap tukang bersih-bersih. Ya, aku menggeluti usaha bakery untuk menyalurkan hobi.

Dengan kelihaianku merayu Papa, aku berhasil mendapatkan modal untuk membuka usaha di sini. Untuk memudahkan mobilitas, aku menempati rumah Mas Wildan yang secara sukarela ia setujui karena tidak ada yang menempati selain empat asistennya.

Tokoku sendiri berada tak jauh dari rumahnya. Lebih tepatnya aku diberi ruko kecil oleh ayah Mas Wildan secara cuma-cuma. Tinggal merenovasi sedikit akhirnya berdirilah toko kue dan es krimku yang bernama Lullaby. Mengapa demikian? Karena aku selalu suka lagu pengantar tidur. Seperti yang sering dilakukan Gerald dulu.

Entahlah, aku membuka toko ini karena kecintaanku pada es krim dan berbagai macam kue terutama cheese cake dan tiramisu. Maka dari itu aku merekrut empat orang kenalanku yang ahli di bidangnya dan seorang pembuat es krim yang andal. Tak lupa aku dibantu lima orang karyawan untuk mengerjakan hal-hal di luar dapur. Aku juga lebih suka turun langsung dan membantu mereka karena ini murni keinginanku.

Toko yang baru buka selama empat bulan ini tergolong laris dan banyak diminati orang. Aku mengusung tema yang santai dan kekinian agar menarik konsumen. Selain itu aku melakukan kerja sama dengan Morning Dew Restaurant yang mengambil beberapa produk kami untuk persediaan di tempatnya dengan tidak menanggalkan nama Lullaby karena tersedia corner khusus untuk penjualannya. Uniknya hanya es krim vanilla, cheese cake, dan tiramisu yang mereka pilih, sama persis dengan favoritku. Kerja sama ini juga bahkan terasa lebih menguntungkan untukku karena feedback yang mereka minta hanyalah pembagian kecil pendapatan yang diperoleh dari penjualan kami.

Mengingat tokoku yang baru berdiri beberapa bulan, terasa aneh jika restoran sekelas Morning Dew yang bisa dibilang mewah mau mengajukan permintaam kerja sama denganku. Katanya, pemilik restoran itu suka dengan nama Lullaby. Sebuah kebetulan saja aku menamai usahaku 'Lullaby' yang berhubungan dengan malam sementara restoran ini berhubungan dengan pagi dengan nama 'Morning Dew'. Pak Darmawan, pemiliknya belum juga bisa kutemui karena ia begitu sibuk hingga sulit untuk membuat janji. Namun hingga kini aku masih berharap bisa bertemu dengan Pak Darmawan yang nyentrik itu.

***

Aku menggeliat pelan karena terusik oleh seseorang. Waktu tidur siangku memang sering kuhabiskan di toko karena aku punya ruangan sendiri untuk bekerja. Kulirik pria yang membangunkanku dengan usil sedari tadi.

"Kan kita mau makan siang,"

"Sekarang banget ya?" Kataku sambil mengumpulkan kesadaran.

"Cuci muka gih, aku tunggu di depan."

Aku berjalan ke wastafel untuk menyegarkan wajahku sebelum pergi bersama Eric. Ia selalu mengajakku makan di Morning Dew tak peduli itu pagi, siang, ataupun malam sekalipun. Lama-lama aku bahkan bisa membedakan wangi parfum para pelayannya di sana.

Setelah melakukan touch up pada wajahku, aku berjalan menghampiri Regie, asistenku yang kupercaya mengendalikan toko saat aku tak ada.

"Re, nanti ada Sherly mau ngambil beberapa roti buat sampel. Terserah mau ambil yang mana aja asal yang cheese cake jangan dikasih ke dia. Bilangin resepnya belum kelar, gitu. Aku mau makan siang dulu."

"Siap Kak."

Aku berjalan menuju halaman dan masuk ke dalam mobil yang terparkir di sana dengan sang pemilik yang tampak tampan hari ini.

Jalanan cukup padat, banyak anak pulang sekolah dan pekerja yang beristirahat. Eric sendiri selalu kabur dari kantornya saat jam makan siang hanya untuk makan di restoran favoritnya itu. Memang cita rasa makanan di sana kuat dan khas sehingga lidahku juga cocok meski sebenarnya setiap menu yang ada sudah pernah kurasakan semuanya.

"Aku dapat undangan makan malam," kata Eric sambil menatap santai jalanan yang tidak kunjung santai.

"O ya? Dari mana?"

"Morning Dew. Hahaha,"

"Dasar. Itu sih kamu datang sendiri tanpa diundang,"

"Enggak Di, serius aku dapat undangan. Katanya sih gara-gara aku tiap hari kesana. Terus ini juga dihadirin sama pemiliknya. Kamu kan ngebet pengen ketemu,"

Aku membulatkan mata secara sempurna. Otakku begitu penasaran membayangkan rupa pemilik restoran itu. Dengar-dengar orangnya menyenangkan dan lucu.

"Serius? Aku mauuuuu,"

"Tuhkan mau. Besok malem sih, aku jemput jam 7 ya. Kali ini boleh dandan, kan acara spesial," katanya sambil tersenyum.

"Ah makasih ya. Baik deh,"

"Dari lama juga baik, kamu aja yang gak peka," cibirnya padaku.

Aku menggamit lengannya dengan senang mendengar kabar menarik yang disampaikannya tadi. Sungguh tak sabar aku menunggu waktu bisa bertemu dengan Pak Darmawan yang berbaik hati mau menawarkan kerja sama dengan toko kueku.

Kami sampai di restoran tepat pukul satu siang. Seperti sudah hafal, para pelayannya menyapa kami dengan ramah dan mengantar ke tempat duduk yang sudah dipesan Eric. Selalu tempat duduk yang sama setiap harinya.

Mataku memicing saat melihat seorang pria tua dengan rambut dikuncir kebelakang memakai jas dan membawa piring berisi potongan kecil tiramisu berjalan ke arah kami.

"Diandra, kan?"

Aku segera berdiri dan mengangguk hormat padanya. Kalau dugaanku benar, ia adalah Pak Darmawan sang pemilik restoran.

"Tidak usah formal begitu. Saya hanya ingin berbincang denganmu sekaligus mengundang ke acara makan malam besok."

Dalam hati aku melompat kegirangan bisa bertemu dengan orang yang sangat sulit dicari ini. Pak Darmawan memiliki wajah yang ramah dan senyum yang mampu menular ke orang-orang sekitarnya.

"Oh baik Pak, silakan duduk. Maaf saya tidak langsung mengenali Anda tadi,"

Beliau mengambil tempat menghadap selatan dengan aku menghadap ke timur berhadapan dengan Eric yang kini gugup tak tahu harus bersikap bagaimana.

"Panggil saya Opa. Saya juga punya cucu seumuran kamu,"

Aku tersenyum canggung mengobrol dengan orang penting semacam dirinya.

"Iya Opa. Bagaimana Opa tau kalau saya Diandra?"

"Siapa yang tidak kenal kamu? Cucu seorang Reksa Wijaya. Saya kenal baik dengan kakekmu. Dia teman saya waktu sekolah. Sayang dia harus pergi lebih dulu. Saya ini kagum sekali lho sama kakek kamu. Kapan-kapan kalau kamu punya waktu luang akan saya ceritakan masa lalu persahabatan saya dengan kakekmu,"

Kemudian ia terkekeh pelan sambil menewarang jauh. Entah apa yang dipikirkannya.

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang