4

131 16 0
                                    

"RAFA STOP! BERHENTI PUKULIN ELIAN. KALIAN KENAPA SIH?"

Napasku menderu. Aku sekuat tenaga melerai Rafa dan Elian yang berkelahi di luar gedung. Malu kalau ada yang melihat.

"Bilangin tuh cowok lo. Jangan macem-macem sama cewek gue."

"Elian kenapa emang?"

"Tanya sendiri sama dia."

Aku mengalihkan pandangan ke Elian. Tatapanku meminta penjelasan padanya.

"Gue gak ngapa-ngapain sama Tiara. Sumpah."

"Bohong! Dia cium cewek gue di basement! Bangsat lo Eliaaaan!"

"Berhenti teriak-teriak! Gue gak bisa mikir jernih kalo kalian gini."

Aku sebisa mungkin menahan emosiku. Tapi yang dikatakan Rafa barusan, melemahkan semua sendiku.

"Jelasin, El. Semuanya."

"Tiara telfon gue. Dia bilang mobilnya gabisa jalan. Akhirnya gue susul dia ke basement. Pas gue ngecek mesin, dia peluk gue dari belakang. Gue gak sempat ngehidar dia langsung cium gue. Bukan gue, Diandra. Lo harus percaya sama gue."

Mataku memanas mendengar perkataan Elian. Aku menariknya menjauh dari Rafa yang memandang kami dengan sinis.

"Udah, El. Cukup sampai sini aja lo nguji kesabaran gue. Apa yang lo lakuin.. enggak. Gue bahkan gak bisa bayanginnya. Gue benci sama lo Elian!"

Aku mulai kehilangan kendali. Tersakiti oleh orang yang kusayang membuatku hilang arah. Ini kali ketiga Elian menyakitiku. Dengan orang yang sama. Dulu ia pernah terpergok makan berdua dengan Tiara. Aku bisa memaafkannya karena ia berkata waktu itu tak sengaja bertemu Tiara. Yang kedua, ia pernah lebih memilih mengantar pulang Tiara yang jelas-jelas rumahnya lebih jauh dari rumahnya sendiri. Sementara aku dibiarkan terjebak hujan di sekolah. Entah mengapa aku masih memaafkannya. Tapi tidak untuk kali ini. Aku terlanjur sakit hati akan kelakuannya.

"Diandra.. dengerin gue dulu."

"Gak ada yang perlu gue denger. Udah berapa kali gue maafin lo? Udah berapa kali lo ngulang kesalahan yang sama? Gue udah cukup kenyang makan janji dari lo."

Sebisa mungkin aku tidak menangis di depannya. Aku tak ingin terlihat lemah di depannya. Jangan dikira aku sayang lalu ia bisa seenaknya melakukan kesalahan dan meminta maaf.

"Diandra. Listen to me. Itu gak sepenuhnya kaya yang lo kira. Lihat mata gue. Lo bisa lihat kejujuran gue, Di."

"Gak sepenuhnya? Sebagian bener kan? Lo beneran ngelakuin hal yang enggak-enggak sama Tiara kan? Gue gatau lo bakal sehina ini El."

Air mataku tak bisa kutahan lagi. Aku menangis dihadapannya. Entahlah. Aku tak peduli ia menganggapku lemah atau apa. Aku tak peduli. Aku hanya ingin meluapkan emosiku saat ini.

"Diandra.."

Elian beringsut maju untuk memelukku. Namun sebelum ia melakukan itu, aku mengenyahkan ia dari hadapanku. Aku sudah cukup muak akan kelakuannya. Tidak. Aku tidak boleh luluh lagi.

"Kita putus."

Datar. Mengambang. Aku meninggalkan Elian yang berdiri seakan tak percaya aku mengatakan kata-kata keramat itu. Aku tidak peduli lagi. Segera aku pesan taksi online dan meluncur pulang. Seharusnya ini jadi malam yang indah untuk merayakan kelulusan kami. Pensi akhir tahun memang yang terbaik. Tapi semuanya jadi kacau. Ini malam patah hati terhebatku. Sampai di kost, aku hanya menangis sampai pagi datang.

***

"DEK, LO GAPUNYA SHAMPO YA?"

Astaga teriakan itu lagi. Aku segera tersadar dari lamunanku.

"Apa Kak?"

"SHAMPO. SHAMPONYA MANA? LO GAPUNYA?"

"Oh, diatas wastafel. GAUSAH TERIAK BISA KAN?"

Memangnya ini hutan, kalau bicara harus teriak keras-keras? Dasar tidak waras.

"LAH INI KAN SHAMPO BAYI."

"KALO GAMAU YAUDAH."

Tidak terdengar apapun lagi dari arah kamarku, dari arah kamar mandi kamarku.

Aku bergegas menyiapkan piring untuk sarapan. Karena terlalu lama menunggu Gerald mandi, aku sarapan terlebih dulu.

"Gila rambut gue bisa kusut kalo shamponya kaya gini. Abis ini gue harus beli shampo."

Gerald langsung duduk disebelahku untuk sarapan. Astaga, rambutnya masih basah dan handuknya hanya diletakkan di atas kepala begitu saja. Aku bahkan bisa mencium aroma sabun mandi yang familiar. Ini sabunku!

"Kak lo pake sabun gue?"

"Iya. Wanginya enak. Punya gue kalah wangi."

Aku menepuk dahi. Ia benar-benar menganggap ini rumahnya sendiri! Tuhan, kuatkan aku.

"Gue yakin lo gabut hari ini. Temenin gue yuk."

"Kemana?"

"Beli shampo, ambil gitar, sama cuci mobil."

Aku menelan nasi. Dengan. Sangat. Kesulitan.

"Kemana?"

"Lah nanya lagi nih bocah."

"Iya maksudnya kemana beli shampo, ambil gitar, sama cuci mobilnya?"

"Ooh. Ada deh. Ngikut aja gausah banyak nanya, ok? Gue harus jagain lo jadi lo harus ikut kemanapun gue pergi karena lo gaboleh lepas dari pengawasan gue."

"Yayaya."

Setelah selesai makan, aku cuci piring lalu ganti baju. Tak butuh waktu lama, aku sudah siap dan menunggu Gerald keluar dari kamarnya.

"Lo mau nyetir gak?"

Pertanyaan macam apalagi ini.

"Gak." Jawabku ketus.

"Oh yaudah. Ayo berangkat."

Aku mengunci pintu dan segera menyusul Gerald. Mobil melaju dan membelah jalanan menuju kota. Tak butuh waktu lama kami sudah berada di tempat pencucian mobil yang berada tak jauh dari supermarket. Kami meninggalkan mobil di tempat cucian lalu berjalan kaki ke supermarket untuk membeli shampo. Hanya untuk shampo.

Aku memilih duduk di food court dan memesan es krim sambil menunggu Gerald selesai dengan urusan shamponya. Lalu aku teringat sesuatu. Ya, bagaimana mungkin aku bisa lupa, ini tempat favoritku untuk beli es krim bersama Elian.

"Diandra?"

Aku refleks menoleh dan kaget. Elian berdiri di sampingku.

"Elian? Ngapain lo ke sini?"

"Gue emang nunggu lo. Kaya yang gue bilang di telfon tadi pagi. Gue mau jelasin semuanya, Di. Kita gabisa putus gitu aja."

"Maaf, El. Simpan aja semua penjelasannya. Gue tetep pengen putus dari lo."

"Diandra Anindya Wijaya, kalo gue beneran ngelakuin apa yang dituduhin sama Rafa, gue rela putus sama lo. Tapi gue enggak-"

"Apapun itu, El. Ini tentang kepercayaan. Lo udah bikin gue gak percaya lo lagi, gue udah hancur."

"Kalo perlu, gue ajak Tiara ke sini sekarang. Biar dia jelasin ke lo."

"Halo."

Aduh, Gerald. Kenapa dia harus datang saat ini? Bodoh.

"Kenalin El, dia Gerald. Ger, ini Elian."

Mereka berdua berjabat tangan dan saling tersenyum. Ingin aku segera pergi dari sini sekarang.

"Oh iya, Gerald ini pacar gue yang baru. See, gue tetep pengen putus dari lo. Kami duluan ya, El. Bye."

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang