24

24 6 0
                                    

Sudah satu jam aku berada di kamar yang gelap ini. Sebisa mungkin aku menahan rasa takut akan kegelapan. Berkali-kali kupegang balok kayu ditanganku dengan cemas. Bagaimanapun, semua harus selesai malam ini.

Terdengar suara berderap di depan pintu. Aku bersiaga sambil terus menajamkan indra pendengaranku. Sang pemilik kamar akan segera masuk, bisa kupastikan dari suara kenop pintu yang diputar. Peluhku berjatuhan, aku sedikit takut melakukan ini. Tapi keberanianku juga meningkat berkali lipat sejak aku masuk diam-diam ke kamar yang cukup luas ini. Tak berselang lama, seseorang yang kutunggu masuk ke dalam ruangan ini dan menyalakan lampunya. Ia belum menyadari keberadaanku di sudut ruangan karena aku tertutupi pot besar.

Perempuan itu telungkup di ranjangnya sambil bermain handphone. Pasti dia sedang chat online dengan pacarku! Penghianat! Aku tak bisa berlama-lama menahan diri. Dengan tenang aku keluar dari persembunyianku dan mengagetkannya.

"Halo Karen,"

Yang kusapa terkejut dan hampir melempar handphonenya. Aku terkikik dalam hati menyadari betapa mengesankannya diriku.

"E-eh Diandra? Lo kok bisa di kamar gue?"

Ia tergagap melihatku dan balok kayu yang berada di tangan kananku. Aku yakin ia ketakutan saat ini dilihat dari sikapnya.

Aku berjalan ke arah jendela dan diam untuk beberapa saat. Dari pantulan kaca aku bisa melihat Karen dengan gusar menggulir layar handphonenya. Biarlah, aku juga tidak peduli. Kuputar langkahku menuju Karen yang masih diam gemetar di ranjang. Melihatnya seperti ini tanpa sadar menarik ujung bibirku ke atas.

"Siniin hp lo," kataku dengan datar.

"Buat apa? Lo mau apa?" Karen bertanya dengan panik seakan aku mau menerkamnya.

"Siniin atau kepala lo yang lucu itu ngerasain balok kayu gue,"

Dengan gemetar ia memberikan handphonenya padaku. Kusahut handphone itu lalu kukantongi. Aku berdiri mematung di depan ranjang, menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan padanya. Sekitar lima menit aku hanya berdiri dan menatap wajah takut Karen. Kesabaranku mulai habis, aku ingin mengenyahkan wajah Karen dari hadapanku saat ini juga. Tapi suara pintu terbuka dengan tiba-tiba mengagetkanku. Gerald berdiri di sana dengan tatapan tak kalah kagetnya denganku.

"Diandra kamu ngelakuin apa ke Karen?"

Ia masuk dan merebut balok kayu dari tanganku lalu membuangnya ke sembarang arah. Aku hanya tertawa ringan melihat Gerald yang panik.

"Gerald.." Karen mencicit memanggil Gerald. Sungguh aku ingin menampar pipi putihnya itu saat ini.

Gerald beralih menghampiri Karen yang sekarang menangis. Dengan tenang Gerald mengusap kepala Karen dan menyediakan pundaknya untuk menangis.

"Aku gak tau kenapa kamu kaya gini Di,"

"Karen udah bilang apa aja ke lo? Kok lo jadi nempel banget sama dia?" Jawabku dengan sarkas.

"Karen ini udah lindungin kamu dari bahaya. Kenapa kamu malah mau nyakitin dia?"

Aku tertawa sinis mendengar Gerald seperti itu melindungi Karen. Kupandang Karen yang semakin terisak di pundak Gerald. Dengan Karen yang seperti itu, Gerald menenangkannya dengan membisikkan sesuatu yang tak kupedulikan. Kalau saja aku tak waras sudah kujambak rambut indahnya itu.

"Kenapa lo buang kayu gue Ger?"

Aku berjalan untuk mengambil kayuku yang tergeletak di lantai. Memegangnya lagi, dan membawanya kepada Karen. Ia semakin mempererat pelukannya pada Gerald yang sekarang tampak kesal dengan sikapku.

"BERHENTI LO PELUK COWOK GUE BITCH"

Gerald sangat terkejut melihatku bisa sekasar ini. Biarlah, untuk ke sekian kalinya biarkan aku tak peduli atas apapun.

"Diandra! Sejak kapan lo jadi kasar kaya gini?!"

"Stop Ger gue gak mau bikin masalah sama lo. Mending lo lepasin Karen atau gue pukul kepalanya?"

Pelan-pelan Gerald melepaskan pelukan Karen tapi masih menggenggam satu tangannya.

Aku beralih menatap Karen dan menyodorkan kayu padanya. Ia hanya kebingungan melihatku.

"Jangan siksa gue Ren. Bunuh gue sekarang," kataku padanya saat kuserahkan kayu itu.

Aku bisa melihat Gerald sangat marah saat ini. Mukanya memerah karena emosi.

"Apa maksud lo Di?" Setiap Karen mengatakan sesuatu, hasrat untuk mencelakainya semakin menyala dalam diriku.

"Bunuh gue. Jangan cuma bisa gertak doang lo jadi orang,"

"Kenapa gue harus bunuh lo?" Kali ini Karen bertanya dengan keras dan air matanya semakin menjadi-jadi.

"Karena lo gak pernah serius pengen bunuh gue dari awal," desisku.

Pada saat bersamaan masuklah Mas Wildan dan juga Karine yang aku yakin sudah berada di rumah ini sejak tadi.

"Wildan?"

Gerald heran menatap sahabatnya sudah berada di sini bersama seseorang yang sangat ia benci saat ini. Kulirik Mas Wildan yang menutup pintu.

"Lo diem aja Ger. Mending lo ke sini dan biarin Diandra selesaiin masalahnya sendiri."

GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang