4 tahun berselang.
Hidup kadang tak berjalan sesuai angan. Manusia boleh merencanakan, namun keputusan tetap di tangan Tuhan. Kita hanyalah pelaku skenario raksasa yang tak tahu menahu tentang alurnya. Semua tersembunyi begitu saja bagai drama rahasia yang bisa tiba-tiba memberi kebahagiaan, bisa juga jungkir balik memutar keadaan. Nyatanya itu yang terjadi padaku, pada kami.
Aku tersenyum getir menatap potret yang tergantung di dinding kamar ini. Wajah-wajah yang saling menyayangi. Kami adalah tiga insan paling berbahagia masa itu. Kadang saat hatimu melambung tinggi, kau akan dengan mudah mengatakan hal-hal baik. Kamar ini, potret ini adalah saksi dari janji kami empat tahun silam. Janji untuk saling menjaga dan melindungi, tetap bersama dan tidak saling meninggalkan.
Nyatanya tiap orang orang berbeda-beda dalam menjalani komitmennya. Apa yang sudah terucap hendaknya itulah yang diperbuat. Rupanya ada satu yang tak bisa setia dengan janji yang dibuatnya. Ia, yang paling ku cintai lebih memilih pergi seolah tak memberi arti pada hubungan kami. Ia, yang paling ku cintai berubah jadi orang yang paling ku benci saat ini.
Sudah dua tahun aku menghindari ruangan ini. Sudah dua tahun pula aku tak pulang ke rumah ini. Semua memori tersimpan rapi, tak ada yang berani mengubahnya barang seinchi. Kelebatan ingatan itu berlarian dengan cepat di kepalaku tanpa bisa kuhentikan. Ada masa kami tertawa, ada kesedihan yang mendera, ada pula kemarahan dan perselisihan kecil yang dengan mudah dapat kami atasi. Dulu kami tak ubahnya tiga sahabat yang damai dan bahagia sebelum ia pergi dan membuat berantakan semuanya.
Air mataku mengalir bersama emosi dan kekecewaan yang kurasakan. Bagaimana dulu aku begitu memuja dan mencintainya. Sebisa mungkin aku selalu ada untuknya, untuk kami. Bagaimanapun, aku selalu mengingat perkataannya tentang tidak ada yang saling meninggalkan dan pergi diantara kami. Aku dengan jelas mengingat ia berkata bahwa apapun yang terjadi, kami harus menghadapi bersama. Namun ia pergi dan melupakan janjinya sendiri. Miris memang.
Tidakkah terlalu jahat saat ia mengabaikan perasaanku dan memilih pergi tanpa izin dariku? Hanya dua kalimat, dan ia menghilang tanpa sempat aku mengatakan sepatah kata pun. Tidakkah terlalu kejam caranya pergi dan menghilang tanpa berpamit?
Hanya dua kalimat, dan duniaku hancur bagai kiamat. Kukira ia hanya bercanda dan akan kembali esoknya. Namun sia-sia yang kurasa. Ia benar-benar hilang tanpa jejak. Rumahnya bagai tak bertuan. Tempat-tempat miliknya juga tak menandakan sempat disambang pemiliknya.
Aku hancur. Hidupku berantakan. Kepergiannya menyisakan kisah yang tak pernah terucap. Meninggalkan rahasia yang tak pernah terungkap, meninggalkanku sendiri tanpa perlu bersiap-siap. Tiga bulan pertama aku luntang-luntung mencarinya. Kuliahku terbengkalai, bahkan hampir aku dikeluarkan kalau tak kunjung memenuhi tanggung jawabku.
Aku mungkin akan depresi dan mati kalau saja aku tak ingat masih memiliki orang tua dan saudara. Aku mungkin saja bunuh diri kalau Mas Wildan tidak menjagaku dalam masa hancur itu. Ia berusaha menutupi kondisi seorang anak dari orang tuanya. Setidaknya itu membantu, orang tuaku selalu berpikir hubunganku baik-baik saja dengan Gerald.
Beberapa kali Mas Wildan berusaha menghubunginya namun nihil, tak ada yang bisa diharapkan. Semua tempat yang sering dikunjungi sudah dicari tetap saja tak menunjukkan hasil. Tak lama setelah itu keluarganya juga pindah ke Jakarta. Kakaknya tak tahu perihal perginya Gerald yang misterius.
Hingga suatu hari datanglah sebuah surat berisi permohonan maaf darinya. Ia berkata agar jangan mencari keberadaannya, ia juga berharap agar aku hidup bahagia dan menemukan orang lain yang lebih baik. Aku tertawa sumbang jika mengingatnya. Kalimat paling basi yang digunakan seorang pengecut yang tidak berani mengatakan alasan sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guard
Подростковая литератураMengenalnya, seperti menaiki rollercoaster dengan sabuk pengaman yang dilonggarkan. Mendebarkan sekaligus menyenangkan. #465 teenlit on May 2018 Enjoy reading and don't forget to vote?