enam puluh sembilan

30.5K 1K 22
                                    

"ACHA!!"

Secara bersamaan, Acha dan David menoleh.

"STELLA!"

"STELLA!"

Keduanya sama-sama memekik, melihat apa yang terjadi terhadap Stella dibelakang. 

***

Tangan Acha bergetar hebat, tubuhnya serasa mati rasa. Sedari tadi, hanya perkataan tidak mungkin yang muncul di pikirannya, Tidak mungkin, tidak mungkin. Tidak mungkin. Pasti pernyataan dokter tadi salah! salah!! 

"ENGGAK! ENGGAK!" 

Kashi hanya bias memejamkan matanya, dan setia memeluk tubuh Acha dengan erat, memberi kehangatan, kepada sahabat nya yang sekarang sedang dibawah.

"Kashi, bilang ke dokter! Bilang kalau diagnosis dia salah!"

Acha menggeleng-geleng, air matanya tak dapat terhentikan sama sekali. 

"Acha,"

Kashi bingung, ia harus apa agar Acha menerima kenyataan?

"Acha, ikhlas ca. Lo mau Stella kesiksa sama alergi nya nanti? Dia udah tenang disana,"

"Kalau lo nangis, dia bakal sedih dan enggak tenang. Setelah dia enggak tenang di dunia, lo mau dia ga tenang juga di alam kubur?"

●●●

Hari demi hari telah terlewati. Namun, Acha belum juga memunculkan senyum sedikitpun dan kepada siapapun.

Mata Acha yang tidak berhenti nya mengeluarkan cairan, hingga membuat matanya hampir tak berbentuk.

Kilasan-kilasan memori kala dulu terputar kembali di fikirannya. Saat dimana, Acha dan Stella tentram layaknya seorang adik kakak kandung yang saling melengkapi.

"Kalau gitu, Ela bisa tinggal sama ayah, bunda, dan kak Acha lagi kan?"

Acha histeris, Acha mengingat kalimat yang selalu Stella katakan. Tinggal sama, tinggal sama, dan tinggal sama.
Sesungguhnya, Acha pun menginginkan hal itu.

Tepat pukul 02.00 malam, badan Acha meringkuk, sambil menyembunyikan tangis nya yang hampir meledak.

"Bun.. kita samperin Acha ya?" Tanya Ayah nya yang mulai khawatir dengan keadaan anak nya yang masih nangis meraung-raung.

"Enggak yah. Acha butuh sendiri, dan menyendiri."

●●●

Pagi ini terasa sepi, tidak ada keceriaan, senyuman, serta tawa yang menyertai hari-hari David dan keluarganya.

Tidak ada Stella si berisik, Stella si bawel, dan Stella si manis, yang membawa virus rindu bertubi-tubi.

"David..udah, Stella tenang di alamnya." Ujar bundanya yang sepertinya memahami keadaam David.

"David,berangkat."

Setelah pamit kepada kedua orang tuanya, David langsung bergegas keluar rumah.

David memejamkan matanya, menahan sedikit buliran yang mungkin akan keluar. Jarang, jarang sekali David menangis.

Namun, beda rasanya setelah David melihat sepasang sepatu berwarna hitam putih, yang bertali.

David menoleh ke Sofa dalam.

Cewek Kulkas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang