Agustus Untuk Agustine

115 3 1
                                    

Tak terasa, sudah sebulan Geng Jedar duduk di bangku kelas XI. Dan bulan kelahiran Rissa pun tengah berjalan.

TINNN!! TINNN!!

"Damar! Damar!"

Joni, Eko, dan Difan berulang kali memanggil Damar dari depan rumahnya. Tak peduli klakson motor ataupun berteriak, hal itu tak kunjung membuat batang hidung Damar muncul.

"Kemana sih dia?" tanya Eko yang sedari tadi mengibaskan tangan kirinya ke wajah karena matahari terik.

"Ketiduran kali, coba lo telpon, Dif!" kata Joni yang meminta Difan menghubungi Damar.

Mereka mencoba menghubungi nomor telepon Damar lewat WhatsApp. Namun, Damar sedang tidak online saat itu. Kemudian, Damar akhirnya muncul dari dalam rumahnya dengan pakaian yang rapi, hal ini membuat ketiga temannya heran.

"Gimana? Rapi kan gue?" tanya Damar sambil membuka pagar rumahnya.

"Rapi sih, tapi ngapain coba? Lo kira kita mau ke tempat nikahan?" Eko mengkritik pakaian Damar.

"Hei, gue harus rapi untuk Agustine. Mau dia di sini ataupun nggak, gue harus kelihatan rapi demi dia."

"Bucin..."

"Iya, Bang, iya."

"Siapa Agustine?"

Damar memutar bola matanya, "Ferissa Agustine, masa lupa?"

"Oh pacar lo."

"Ngapain juga gue tau namanya."

"Lo kira siapa?"

"Kirain lo ngeduain dia," ledek Joni.

Malas berdebat, Damar pun naik dan diboncengi Joni, sedangkan Eko membonceng Difan. Mereka pun siap berkendara keliling daerah tempat tinggal mereka untuk mencari apa yang diinginkan Damar untuk Rissa. Berbagai tempat mereka lewati, meskipun itu macet dan panas, mereka tidak menyerah dan membatalkan rencana Damar begitu saja. Karena mereka berempat memegang prinsip yang sama: apapun untuk teman. Selama itu tidak merugikan salah satu atau seluruhnya, hal apapun tidak jadi masalah.

Mereka akhirnya sampai di sebuah komplek yang jalan utamanya merupakan tempat berbagai barang dan makanan dijual. Toko yang menjual baju dan jam tangan pun ada di sana. Damar melihat-lihat ke kanan dan kiri.

"Mana ya langganan ayah gue?" katanya dalam hati.

Setelah lama berjalan dengan kecepatan 10 km/jam, memancing klakson-klakson kendaraan yang ingin mendahului mereka sesekali walaupun jalan begitu luas, Damar belum juga menemukan toko yang menjadi langganan ayahnya.

"Mana, Mar? Belum ketemu juga?" tanya Joni sambil turut menoleh kanan dan kiri tanpa kehilangan fokus berkendaranya.

"Gak tau nih," ketika melihat ke depan, papan nama toko yang terpajang tinggi di atas tiangnya pun terlihat, "oh, itu dia, Jon, di depan tuh!"

BRUMMM...

Mereka pun sampai di toko yang dicari Damar. Dia mengajak masuk ketiga temannya untuk melihat-lihat, "ayo, coy! Ngadem!"

Namun hanya Eko yang ikut ke dalam. Joni dan Difan memilih untuk tetap di luar.

Sembari bersandar pada speedometer, Difan mengungkit apa yang dibicarakannya waktu itu, "dibilangin boneka aja, ngeyel."

Joni menepuk pundak Difan, "masih aja dibahas bocah satu ini!"

Di dalam, Damar dan Eko berkeliling melihat-lihat, sesekali Eko mengagumi baju-baju yang dijual di sana karena kualitasnya cukup baik. Jam tangan pun ada di sana, terpajang di etalase-etalase dengan elegan.

"Yang itu oke gak?" tanya Damar kepada Eko, dia meminta penilaian terhadap baju yang ditunjuknya.

Namun, tentu saja Eko tidak paham, "kenapa tanya gue? Kan lo yang mau beli. Lagipula gue gak tau selera cewek, Mar."

"Hmm, ya udah deh gue ambil aja."

Lalu dia memanggil penjualnya, "Mbak, yang itu dong, Mbak. Sama jam tangan yang ini," katanya sambil menunjukkan kedua benda yang ingin dibelinya. Lalu penjual tersebut mengambilkan dan membawanya ke meja kasir. Setelah dibeli, mereka pergi meninggalkan toko dan bermain di rumah Joni.

Damar pun siap memberikan hadiah-hadiah itu kepada Rissa.

The Vanished SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang