Harapan (Hampir) Pupus

33 1 0
                                    

Hari itu, Damar menempuh bulan ketiga atas diamnya dia. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Geng Jedar dan Eli tidak langsung pulang karena saat baru saja selesai menuruni tangga, Damar kembali naik.

"Mau ke mana?" tanya Joni, namun Damar tidak menjawabnya. Keempat temannya pun menunggu di bawah.

Duapuluh menit kemudian, mereka masih menunggu namun Damar tidak kunjung muncul. Joni dan Difan melihat jam tangannya berulang kali, sementara Eli dan Eko mencoba mengirim pesan WhatsApp kepada Damar. Sayangnya, WhatsApp Damar saat itu sedang dalam kondisi offline.

"Dia ngapain sih?" tanya Eko.

Difan mengambil langkah mundur untuk melihat pintu kelasnya dari bawah, "gak tau, gak kelihatan nih."

Joni pun beranjak dan berkata, "gue nyusul Damar deh, lama banget."

"Ya udah..." sahut Eko.

Joni menaiki tangga lagi, dia melihat-lihat kondisi koridor yang sudah benar-benar sepi. Lalu keluarlah salah satu siswa dari kelas XII MIA 2, dia melewati Joni lalu menyapanya asal, "bro," sapanya sambil senyum. Joni hanya membalas senyum kepada siswa tersebut, dia tidak mengenalinya, lalu dia berjalan menuju kelasnya.

Saat berada di depan pintu, alangkah terkejutnya Joni ketika melihat Damar tengah menggenggam sebotol cairan pembersih lantai yang memang ada di kelasnya. Damar sudah mengambil ancang-ancang untuk menenggak cairan itu dengan yakin.

"Damar!" seru Joni yang kemudian dia berlari dan melayangkan tinjunya kepada Damar, "laki macam apa lo?!"

Damar tersungkur dan cairan pembersih lantai di dalam botol itu berceceran di lantai. Joni berdiri di hadapan Damar lalu mencengkeram bajunya, perlahan Damar berdiri dalam posisi itu.

Joni membentaknya, "bukan begini cara laki-laki selesaikan masalahnya!"

Damar tidak berniat untuk melawan sahabatnya itu, raut wajahnya begitu sedih, matanya sudah berkaca-kaca dan pipinya terlihat memar. Kali ini tidak ada toleransi atas kelakuan Damar, Joni membentaknya habis-habisan sambil tetap mencengkeram baju Damar.

"Udah kelas XII! Apalagi lo ini laki, Mar! Pikirin masa depan lo! Jangan jadi pengecut, cuma karena Alisha lo mau bunuh diri?! Sadar! Lo masih punya keluarga di rumah, lo masih punya kita! Curhat aja sama orangtua lo! Kalo ortu lo masih gak terima curhat percintaan, lo bisa curhat ke gue, ke Eko, ke Difan, Eli juga bisa!! Lo harus dewasa, Mar! Alisha gak akan tenang di alam sana kalo lo gak bisa relakan dia! Dia meninggal udah lama, Mar, lo harus move on, gak ada gunanya lo berbuat kayak begini! Buat apa?!!"

Damar bergetar mendengar kata-kata Joni, air matanya enggan mengalir, Damar lekas mengusap matanya agar tidak menangis. Joni pun melepas cengkeramannya dan merangkul Damar untuk pulang, "ayo, pulang."

Ketika sampai di bawah, Joni memilih untuk berbohong agar kejadian konyol ini cepat terlupakan.

"Ngapain dia, Jon?" tanya Difan.

"Gak tau, mejeng aja di jendela," jelas Joni bohong.

"Ngapa muka lo, Mar?" giliran Eko yang bertanya.

"Gak tau nih," Joni berbohong lagi, "kenapa, Mar?" Damar menjawabnya pelan, "kepleset gue, kepentok meja."

"Oh, pantaslah sabun lantainya tumpah," Joni menyambung lagi kebohongannya. Yang lain hanya tertawa, tidak tau kejadian sebenarnya.

Entahlah, bentakkan Joni tidak terdengar hingga ke bawah. Joni dan Damar sama-sama memikirkan itu.

Kini Damar sadar, dirinya harus merelakan kepergian Alisha.

The Vanished SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang