Geng, and Barber Shop

46 2 0
                                    

Hari-hari dengan cepatnya berlalu, Damar sedang berkirim pesan di Instagram dengan Maharani--nama lengkap Rani sangat sederhana--karena Rani mengatakan bahwa dia tidak bermain WhatsApp.

CLING!

Notifikasi lain berbunyi, rupanya itu grup gengnya di WhatsApp.

Radifan
Cukur lah guys

Difan mengajak ketiga temannya untuk mencukur rambut. Ya, rambut mereka kini sudah agak tebal dan sudah waktunya untuk dicukur. Sejak melewati masa SMP, mereka memang hampir kemanapun bersama, bahkan untuk jadwal cukur rambut saja mereka lakukan bersama.

***

"Om, kayak biasa ya?" kata Joni yang inisiatif duduk di bangku untuk dicukur.

"Oke siap!" kata Om Joy, pencukur sekaligus pemilik barber shop langganan Geng Jedar yang cukup berkualitas. Om Joy memperkerjakan dua orang yang umurnya tidak jauh dari geng itu, yang sudah dikenal sejak lama juga, yaitu Mas Bagas dan Mas Arif.

Sambil menunggu Joni selesai, ketiga lainnya bersenda gurau dengan kedua karyawan Om Joy tersebut karena sedang tidak ada pelanggan lain selain mereka. Dan... kenapa gak mereka sekaligus? Geng Jedar sendiri yang ingin agar dicukur bergantian saja satu per satu.

"Rambut kalian kalo kayak Bagas tuh keren," kata Mas Arif yang menunjuk Mas Bagas yang berambut panjang sepundak, cocok dengan wajahnya yang rupawan.

"Nanti itu mah, Mas, kita masih SMA, nanti kuliah baru deh," sahut Difan yang disetujui teman-temannya.

"Tapi emang gak gerah gitu?" tanya Damar pada Mas Bagas.

"Kalo kalian nyaman ya nggak gerah, kalo gak biasa ya gitu lah, tapi ya gerah mah gerah, tapi kalo udah kesukaannya ya gerah gak jadi masalah," tampaknya Mas Bagas sulit menjelaskan hal tersebut.

Apapun dibahas, dan tidak ada bosan-bosannya. Waktu terus berjalan, Joni selesai, giliran Damar. Saat Damar tengah dicukur, seseorang masuk ke barber shop itu, Damar melihatnya dari cermin di depannya. Tampak seorang gadis masuk. Gadis itu mengenakan masker, dan dia mencari Om Joy.

"Om, kunci rumah di Om ya? Mama belum pulang?"

Om Joy mematikan sebentar alat cukurnya dan menggantungnya di belakang bangku cukur. "Oh iya, Mama belum kesini, sebentar ya."

Om Joy masuk ke sebuah ruangan untuk mengambil kunci rumah gadis itu. Damar dan yang lain pun merasa mengenali suaranya. Tanpa perlu bertanya, rasa penasaran mereka terjawab karena gadis itu menyapa Damar, masih dengan masker yang menutupi hidung dan mulutnya.

"Kakak cukur di sini?" tanya gadis itu, dahi Damar berkerut, mencoba mengingat suara siapa itu. Lalu gadis itu membuka maskernya.

"Rani???"

***

Usai cukur rambut, kini Geng Jedar tampak lebih rapi, namun tidak lebih tampan. Mereka berjalan kaki di komplek mewah itu.

"Lo gak ngasih tau gue sih, Dif?" gerutu Damar.

"Ngasih tau apaan?"

"Lo gak pernah cerita kalo dia keponakannya Om Joy."

"Om...oalah, hahahaha..." Difan dan yang lainnya pun tertawa.

"Emang lucu ya?"

"Nggak, hahaha, kocak aja lo tadi, gue emang gak pernah tau kalo dia ponakan Om Joy."

Tadi...

"Rani???"

"Gak usah kaget gitu kali, Kak. Ngomong-ngomong, Kak, rambutnya itu..."

"Kenapa rambutku?" tanya Damar yang masih menunggu Om Joy.

"Ketombenya banyak banget."

Sontak saja Damar malu mendengarnya, dia memang sering ketombean belakangan ini. Teman-temannya dan karyawan Om Joy itu pun menertawakan Damar.

"Tau lo, Mar! Pakai shampo makanya!" ledek Eko yang masih tertawa. Yang lainnya ikutan--Joni dan Difan.

"Wah, Mar, iya kok banyak?"

"Kayak cat tembok, Mar!"

Rani yang tertawa pun berkata lagi, "jangan marah ya, Kak."

Damar pun datar, "nggak..."

Joni, Eko, dan Difan pun tertawa lagi mengingat kejadian tadi. Sementara Damar masih merasakan malu yang luar biasa. Akhirnya dia sampai di rumahnya, "oke, gue masuk, hati-hati di jalan," katanya datar dan tanpa menoleh kepada ketiga temannya. Lalu dia menutup pagar dan masuk ke rumahnya.

"Yeh, ngambek."

The Vanished SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang