Tetangga Baru

32 2 0
                                    

"Kakak, bangun, udah sore!"

Perlahan Damar bangun karena diguncang-guncangkan oleh ibunya, matanya masih terlalu berat untuk terbuka di hari libur itu. Dia tertidur lelap sejak siang hari tadi. Namun, tidak biasanya ibunya membangunkan seperti ini.

"Ada apa sih, Ma?" tanya Damar dengan nada khas orang yang baru bangun tidur.

"Ke bawah yuk, ada tamu."

"Hmm? Tamu? Siapa, Ma?"

"Ada tetangga baru pindahan, yang bekas rumahnya Pak Ratno itu."

"Oh..." Damar tampak biasa saja mendengar ada tetangga baru. Mereka baru saja pindah ke rumah tepat di sebelah kiri rumahnya.

Damar dan ibunya pun menuruni tangga, sesaat setelah Damar merapikan pakaian dan rambutnya.

"Nah ini anak pertama saya," jelas ibunya kepada tetangga baru itu mengenalkan Damar, ayah Damar sudah ada di sana, berbincang dengan ayah si tetangga baru. Begitupun dengan adik Damar, Damri yang duduk tenang bersama ayahnya.

Damar pun bersalaman dengan tamu tersebut. Yang telah dikenalnya sebagai Om Herman, Tante Charita, Eli, dan Marin, kakaknya Eli. Mereka pun berbincang-bincang dengan keluarga baru itu. Damar pun mengambil inisiatif agar tidak dicap sombong, galak, cuek, antisosial, atau apapun itu.

"Hmm, El, di teras yuk," ajak Damar, dia mengajak Eli untuk duduk di luar, ada dua kursi yang jarang sekali dibuat duduk di rumahnya. Sebenarnya dia juga mengajak kakaknya, namun Marin memilih untuk tetap dan mempersilakan Eli saja.

Setelah mereka berdua duduk...

"Kelas berapa lo?"

"Aku? Kelas XI." Bahasa Eli yang seperti itu membuat Damar tidak enak dan memilih untuk mengikuti bahasanya.

"Eh, hmm.. Oh... sepantaran lah kita, Li."

"Oh, baguslah. Bisa belajar bareng kalo ulangan."

Awalnya Damar tidak menginginkan hal ini, namun tak apalah, "hmm.. oke, pindah dari mana?"

"SMA Nusa 382."

"Jauh ya, nanti masuk SMA Mandiri kan?"

"Iya dong, yang dekat aja aku mah."

"Hmm... berangkat diantar berarti?"

"Buat apa? Bareng aja sama kamu."

Mendengar hal itu, Damar terkejut dan takut bila Eli mencoba mempermainkan hatinya. Namun dilihat dari penampilan dan kelakuannya, Damar berpikir bahwa Eli tidak seperti itu. Sifat Eli memang agak polos.

"Tapi... a..aku bareng teman-teman aku berempat."

"Jalan kaki kan?"

"Iya sih.. hmm..."

"Ya udah gak apa-apa, samping-sampingan ini rumahnya. Gak bandel kan harusnya mereka?"

"Nggak, tenang aja. Mereka asik kok. Tapi emang ka..kamu.. gak apa-apa gitu? Cewek sendiri gitu nanti."

"Apa masalahnya, saudara aku juga kebanyakan cowok jadi kalo lagi kumpul sering aku sendiri, walaupun kadang juga sama kakak aku itu."

Damar sebenarnya sedikit khawatir lantaran teman-temannya cukup aneh--termasuk dirinya. Dia juga masih tidak mengerti, ada gadis yang selancar ini bergaul dengan teman baru. Mereka lanjut berbincang karena keluarga Eli pun masih bercengkrama di dalam.

"Itu kakak kamu kuliah?" tanya Damar.

"Iya, dia kuliah."

"Oh..."

Jika kembali lagi kepada situasi hati, Damar membatin lagi, "dia gak akan jadi yang keempat..."

The Vanished SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang