Bintang Jatuh

33 1 0
                                    

TINGNONG!!

"Eli! Eli... buka, El!"

Berkali-kali Damar memanggil Eli setelah menekan bel rumahnya, motornya sudah terpajang di belakang Damar. Setelah menunggu cukup lama, Eli pun keluar dengan rapi sama seperti Damar.

"Ayo, Mar, dekat sih, tapi kamu pakai helm aja nih," Eli meminjamkan helmnya kepada Damar, helm itu pun langsung dipakai oleh Damar. Dia begitu terburu-buru menaiki motornya dan menyalakannya. Dengan segera, Eli naik ke motor yang dikendarai Damar. Mereka pun melintasi komplek itu dengan cepat malam itu menuju tempat yang diberitahu oleh Eli.

***

Sebenarnya Eli agak khawatir dengan cara mengemudi Damar malam itu. Namun apa daya.

Eli hanya bisa berkata, "hati-hati, Mar."

Damar mendengar dan menjawab, "kamu pegangan sama aku aja, El, gak apa-apa."

Eli menurut, tangannya menggenggam baju Damar.

Setelah berjuang melawan banyaknya kendaraan, akhirnya Damar dan Eli masuk ke lahan parkir sebuah rumah sakit yang jaraknya agak jauh dari tempat tinggal mereka. Damar segera melepas helmnya dan berjalan dengan terburu-buru.

"Ayo, El!" tangan Damar ditahan oleh Eli, "tunggu dulu, Mar."

"Nunggu apa sih?" tanya Damar frustasi karena dia begitu panik.

"Aku disuruh tunggu di sini," jelas Eli.

Damar bertanya, masih dengan napasnya yang tampak terengah-tengah namun tidak lelah, "suruh siapa?"

Eli tidak menjawab, dia menatap mencari-cari seseorang di sekitarnya, lalu dia menemukan dengan matanya, "itu dia!" Tidak menghampirinya, Eli menunggu yang dicarinya menghampiri mereka.

"Kamu Eli?" kata ibu itu, wajahnya tampak sedih.

"Iya, hmm... Ibunya Alisha?" Eli memastikannya.

"Iya, Tante ibunya, Alisha titip salam buat kalian, buat teman-temannya juga. Pokoknya yang kamu tau deh, nanti Tante juga menyampaikan ke teman-temannya yang Tante kenal," kata ibu Alisha panjang lebar.

Damar yang mendengar hal itu semakin cemas, dia masih diam di tempatnya berdiri. Dia bertanya dengan gugup, "Ta..Tante, L...Lis..Lisha... mana...?"

Air mata kini mengalir membasahi pipi ibu Alisha, "Alisha tadi pas berangkat kecelakaan di jalan besar sana," ibunya menunjuk ke arah belakang dengan kaku, lalu ibu Alisha melanjutkan, "lukanya parah banget, dik, tapi terlambat."

"Maksud Tante?" Damar ingin memastikan kalau Alisha baik-baik saja.

"Terlalu parah lukanya," ibu Alisha menangis, Eli juga turut menangis dan memeluk ibu Alisha. Sang ibu pun melanjutkan kalimatnya di dalam dekapan Eli, namun masih sangat jelas terdengar walau dalam tangisannya.

"Alisha udah gak ada," lalu tangisan Eli dan ibu Alisha pun semakin menjadi-jadi, air mata mereka semakin deras.

Terkejutnya Damar bukan main, air matanya kini mengalir setelah sedari tadi tertahan. Dia tak dapat membendung lagi air matanya itu, dia menangis, namun masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ibu Alisha melepas pelukan Eli, menghapus air mata, dan siap berjalan kembali ke dalam rumah sakit.

"Tante, gak mungkin! Saya mau ikut ke dalam," namun ibu Alisha mencegahnya, "kamu harus pulang, besok aja datang pagi ke rumah."

"Tapi, Tante--"

"Pulang aja!" nada ibu Alisha meninggi, lalu sang ibu berjalan cepat ke dalam rumah sakit.

Damar jatuh berlutut, dia terpaku di tempatnya. Malam itu senyumnya redup kembali, air matanya mengalir deras. Eli pun masih menangis, dia mencoba membantu Damar berdiri.

"Ayo, Mar, pulang," setelah Damar berdiri, Eli memeluknya erat sekali, membiarkan duka yang mereka rasakan tercampur aduk. Damar pun membalas pelukannya, namun tak lama. Setelah itu mereka mulai menaiki motor dan kembali ke rumah masing-masing.

Sebenarnya terlalu berbahaya bagi Damar untuk berkendara di saat seperti ini. Terlalu membara suasana hati dan pikirannya. Selama perjalanan pun Eli sangat khawatir. Dia terus menyematkan doa dalam hatinya agar selamat sampai rumah.

"Pelan-pelan aja, Mar," Eli mengingatkan. Damar mulai menurunkan kecepatannya.

"El, aku gak mimpi kan?"

"Nanti aja di rumah bahasnya, Mar, gak enak di jalan gini. Fokus nyetir dulu kamu."

Damar tak menjawab, pikirannya penuh luka. Goresan yang belum pernah dia rasakan. Goresan yang terlalu berat. Bukan lagi soal pemberi harapan palsu, orang ketiga, ataupun paksaan orangtua.

Ini soal nyawa. Kehendak Tuhan.

The Vanished SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang