Diam

30 1 0
                                    

"Kamu kenapa sih, Mar?" Eli sudah bertanya berkali-kali sejak dia menuntun Damar masuk kembali ke rumahnya dan menenangkan diri. Tetapi Damar masih terdiam, dia menopang wajahnya dengan lengannya yang menyiku di atas kedua lututnya dan menatap kosong ke depan.

Kemudian ponsel Eli berdering, rupanya itu telepon dari sang ayah, Eli pun langsung mengangkatnya, "halo?"

Eli pun mendengarkan suara di ujung telepon, lalu dia menjawab, "aku lagi di rumah Damar sebentar." Beberapa saat kemudian Eli berkata lagi, "iya aku baik kok, oke, dah." Eli pun mengakhiri panggilan itu.

"Kamu sih, Mar, aku ditanyain papa aku," gerutu Eli pada Damar yang masih terdiam seperti itu.

"Maaf aku ngerepotin kamu," akhirnya Damar mulai bisa berbicara.

Eli merasa lega, "nggak sama sekali, aku gak pernah repot sama kamu."

"Aku mimpi buruk mulu, El, kenapa ya?" Damar bertanya dengan nada dan wajahnya yang datar, dia masih kuat menatap kosong ke depan.

"Kamunya mikirin dia terus sih, jadinya kebawa mimpi terus. Gini loh, Mar, udah mau UN, bulan-bulan ini udah mulai try out kan? Kamu gak boleh kepikiran mulu sama dia, lebih baik kamu mikirin masa depan kamu nanti, Mar. Aku yakin dia juga senang kalo kamu lebih fokus belajar. Mendoakan yang terbaik buat dia itu lebih baik dibandingkan kalo kamu cuma memikirkan dia."

Damar tidak menggubris ucapan Eli yang panjang lebar itu, dia hanya mengangguk pelan. Eli pun pamit, "nanti aku dicariin papa, aku pulang ya, Mar?" Damar mengangguk, Eli beranjak kembali ke rumahnya lantaran hujan telah reda.

The Vanished SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang