As Long as You Try to Forget, You Can Forget All of It Without Sadness

52 1 0
                                    

Pengumuman kelulusan pun tiba, semua siswa kelas XII menunggunya dengan penuh harapan dan doa. Termasuk Geng Jedar, Eli, dan Fitrah hari itu. Kemudian, setelah surat dibagikan, mereka melihat dengan perlahan. Mereka pun bersyukur atas kelulusan itu, siswa-siswi di kelas itu seluruhnya telah lulus dari jenjang SMA.

Sepulang sekolah, mereka memutuskan untuk berkunjung ke sebuah kafe yang dekat dengan sekolah mereka. Kafe yang memang kurang diminati itu mereka kunjungi karena sepinya. Mereka bisa lebih leluasa bersenda gurau tanpa diperhatikan banyak pelanggan.

"Mar, tetap semangat ye, walaupun gak ada--," ucapan Eko terpotong oleh Joni.

"Udah, Ko, jangan ah."

"Apaan? Gue kan cuma nyemangatin."

Lalu Damar menyahut, "udah, udah, gue kan udah ada penyemangat."

Joni, Eko, dan Difan menganga lebar, "wow! Siapa tuh?" Sementara Fitrah wajahnya tampak biasa saja, dia mengedipkan sebelah matanya kepada Eli, Eli pun membalas demikian.

Joni menyadari apa yang dilakukan Fitrah dan Eli, Joni pun langsung menebaknya, "oh, Damar sama Eli sekarang?"

Eko dan Difan langsung bersorak, hal itu membuat pelayan kafe sesekali melihat kelakuan mereka. "Cie, Damar...."

"Nah kalo begini kan langgeng, karena kalo masih sama--," suara Eko mendadak tidak jelas saat mulutnya ditutupi tisu oleh Difan, "gak usah dengerin Eko."

Eko pun berontak, setelahnya dia menduga, "Dif! Ini tisu yang dilempar Joni ya?!"

"Goblok! Masih ingat aja!"

Semua tertawa melihat itu, setelah itu Damar meminta sesuatu kepada teman-temannya, "abis ini antar gue ya?"

"Kemana?" tanya teman-temannya, dan Damar pun tersenyum.

***

'Aku datang lagi,' batin Damar yang sedang berdiri di hadapan sebuah makam seseorang yang pernah dia sayangi. Teman-temannya pun mengelilingi makan itu, kembali mendoakan semua yang terbaik untuk pemilik makam tersebut.

"Kamu kangen?" tanya Eli dengan lembut sambil menggenggam tangan Damar. Eli bisa melihat Damar mengangguk dan sedikit tersenyum dari sudut matanya. Damar tidak menangis lagi, dia sudah dapat merelakan Alisha pergi untuk selamanya.

Lalu Eli membatin, 'aku udah jalanin permintaan kamu, Sha, aku janji akan jaga Damar, sebagaimana dia jaga kamu waktu itu atau dia jaga aku sampai nanti.' Eli harap batinnya dapat sampai kepada Alisha.

Setelah dirasa cukup, mereka pun mulai berjalan meninggalkan area makam, Damar dan Eli berjalan paling belakang. Damar berjalan sambil merangkul Eli, dia hanya bisa tersenyum melihat Damar mulai menghilangkan dirinya yang diam dan mulai mendapatkan kembali kebahagiaannya.

"Makasih, El," kata Damar.

"Hmm? Makasih apa nih?"

"Makasih udah pindah ke samping rumahku."

Eli pun tergelak, "hahaha, ya ampun, iya juga ya."

"Karena kalo gak ada kamu, kasihan juga Alisha, entah siapa yang sama aku sekarang."

"Waduh, iya deh... Aku juga makasih loh."

"Karena?"

"Ya, karena kamu udah bisa jagain aku. Teman-teman kamu pun... ya, kalian orang-orang baik yang ada di sekitar aku."

Mereka tidak akan ada yang mampu memprediksi bagaimana Tuhan berkehendak lagi. Mereka hanya bisa berusaha mempertahankan apa yang telah menjadi indah saat ini.

The Vanished SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang