LOVA CHILDISH
Orang kalau udah sayang pasti dia bakal peduli. Tapi orang yang peduli belum tentu bisa sayang, bisa aja kan dia peduli karena iba?
~DeaLova~***
Dugaan Dea salah, dan sangat menyesal pernah merasa bersalah pada Lova tentang janjinya kepada Nina. Dea kira, Lova akan marah dan menyumpahinya. Tapi sekarang, Lova baik-baik saja dan lebih baik. Bagaimana tidak, sedari tadi Lova dan Nina asyik bermain dan mengabaikan kehadiran Dea yang lelah membuntuti mereka berdua.
Nina yang girang karena berhasil bermain dengan Lova, dan Lova lebih girang melebihi Nina. Apalagi tawa lebar Lova sekarang yang tengah asyik menaiki kuda-kudaan dengan Nina yang berada dalam pangkuannya.
Dea menatap jengah, merutuki Lova karena sedari tadi wahana yang Lova mainkan khusus untuk anak kecil. Padalah Dea sangat ingin menaiki tornado, dan wahana yang memacu adrenalinnya. Tapi, ia hanya bisa pasrah karena Lova memanfaatkan Nina untuk menaiki wahana kesukaannya.
Kuda-kudaan, turangga-rangga, mobil-mobilan, istana boneka, pokoknya berbau tentang anak di bawah umur.
"Gue kapan mainnya?" Dea mengeluh. Meratapi nasibnya sekarang yang merayap seperti babbysitter yang menunggu tuan muda bersama adiknya.
Dea duduk seraya menyampirkan jaket milik Lova di bahu, tas Lova ia letakkan di sampingnya. Lagi-lagi ia mengembuskan napas beratnya, kakinya terasa pegal hampir setengah hari menemani Lova dan Nina. Kalau tau seperti ini ia menyetujui usulan Cika kemarin untuk mengajak Nina selepas pulang sekolah. Tapi karena Dea saja yang mengambil kesempatan maka ia memutuskan untuk mengambil hari minggu.
Dan kini hanya penyesalan, hari ini ia harus berlama-lama meladeni Lova yang sama childish-nya seperti Nina.
"Nina mau naik apa lagi?" Mendengar suara Lova lantas Dea mendongak. Menatap lesu dan juga jengkel ke arah mereka berdua.
"Nina mau istirahat dulu aja, terus pengen makan. Nina laper." Mulut kecil Nina bersungut.
"Baguslah, gue juga capek buntutin kalian." Dea berguman pelan, dan hal itu masih bisa didengar oleh Lova walaupun samar-samar.
"Siapa yang bikin janji? Kenapa lo jadi ngeluh sekarang?!" Ketus Lova seraya menjitak kepala Dea ringan. Dea mencebik, memalingkan wajahnya.
"Ya, masa dari tadi gue cuma liatin kalian main sedangkan gue cuma ngeces liat wahana-wahana yang pengen gue naikin tapi gak kesampaian."
"Lo tinggal naik aja lagian gak ada yang larang, kan?"
'Gue gak mau sendiri, Lova peak. Percuma ada lo kalau sendiri juga.'
Dea bersedekap. Menatap intens Nina di bawah sana yang sekarang asyik memainkan sepatunya. Dea mendengus, selalu saja seorang Nina bisa membuat ia kesal sekesal mungkin.
"Terserah." Dengusnya.
Ia beranjak, meninggalkan Lova dan Nina. Entah kemana tujuannya, ia tidak tahu yang penting ia harus menenangkan emosinya dulu.
Langkah Dea menapaki anak tangga, menujukan dirinya lebih dekat dengan biang lala. Kepalanya menengadah, titik pusat di atas sana menjadi perhatiannya. Rasanya Dea ingin menaiki wahana ini, tapi ia harus urungkan. Dengan menyesal, ia melanjutkan langkahnya melewati beberapa wahana yang sangat menggiurkan seperti makanan.
Ngomong-ngomong makanan tiba-tiba saja perut Dea berbunyi. Dea mendesah pasrah, gengsi jika ia menghampiri Lova lagi, yang ada Lova akan besar kepala ketika tahu bahwa dirinya sekarang membutuhkan Lova. Lebih tepatnya uang Lova, karena yang lebih parahnya Dea tidak membawa uang sepersen pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_