34

317 13 0
                                    

Sudah menginjak hari ke-enam Dea di Rumah Sakit dan itu sangat membosankan. Tidak bisa berbuat lebih hanya bisa terbaring dan melihat interaksi teman-temannya ketika mereka menjenguknya. Lalu setelah mereka pergi, kejenuhan Dea semakin menjadi-jadi.

Tatapannya kini tak beralih dari layar ponsel, mengembuskan napasnya sekian kalinya ketika story whatsapp-nya hanya dilihat saja oleh Lova tanpa mengomentari sama sekali. Bahkan, selama dirinya dirawat Lova hanya menjenguknya sekali itupun bersama bundanya. Pada saat itu tentu saja Dea tidak menggubris kehadiran Lova dan hanya terfokus pada Bunda Lova- Rima. Setelah hari itu, Lova tak kembali sama sekali. Kecewa memang sesederhana itu.

"Besok gue bisa pulang, kan?" Tanya Dea pada Deon.

Deon yang hendak meneguk minumannya hanya mengangguk saja.

"Bunda belum pulang juga?"

"Kenapa? Lo pengen cepet-cepet bunda pulang dan tahu keadaan lo?"

Dea memberenggut, ngomong sama Deon itu selalu ngegas bikin Dea jadi enek sendiri. Entah apa yang ada di dalam kerongkongan Deon sampai bisa seperti itu.

Diam tak menyahut, Dea sedikit memikirkan kejadian yang terjadi tidak lama ini. Sebuah percakapan yang membuat Dea kalangkabut kebingungan. Dea tidak bisa memilih.

"Ayah ngajak gue tinggal di rumahnya."

"Ya bagus, biar ada yang ngurus," Deon menjawab sambil mengunyah buah mangga milik Dea.

"Gue gak suka."

Mendengar nada bicara Dea yang sedikit meninggi membuat Deon sadar inti masalahnya. "Sampai kapan Dea? Bagaimanapun beliau itu adalah pilihan Ayah. Ayah sama Bunda emang gak bisa lagi bersatu, pilihan Ayah bukan Bunda lagi."

"Karena itu—"

"Lo merasa kasih sayang Ayah terbagi?" Dea mengangguk lemah, menunduk tak berdaya. Berusaha menyangkal pun perasaan iri itu selalu datang tanpa di undang.

"Kita tahu Ayah melakukan kesalahan, pengkhianatan memang hal yang salah. Ayah salah melepaskan Bunda dan kita lalu mengabaikan begitu saja, tapi ayah tidak melepaskan tanggungjawabnya selama ini asal lo tahu."

Mata Dea menajam, tidak setuju dengan ucapan Deon. Menurut Dea, Deon itu terlalu naif. Seolah menerima dengan telak takdir yang terjadi pada keluarganya ini, padahal Dea tahu kalau Deon sepenuhnya belum menerima keluarga baru pilihan Ayah.

"Iya, gue tahu kalau ayah gak melepaskan tanggungjawabnya sama kita, tapi itu apa? Hanya sebuah materi. Gue gak butuh itu asal lo tahu."

"Lo kira tanpa uang dari ayah lo bisa sekolah? Makan dan main sesuka hati lo? Asal lo tahu, penghasilan bunda pas-pasan buat kehidupan kita. Tanpa dari ayah kita gak bisa makan sepuasnya."

Deon jadi emosi sendiri. Ia tidak menyalahkan Dea yang memiliki pemikiran seperti tadi, atau bahkan ia tidak membela ayahnya. Semua tidak ada yang benar. Masalahnya, Dea yang belum bisa menerima.

"Gue bisa kerja." Dea menyahut pelan, meski ragu tapi entah kenapa kata itu lolos dari mulut Dea. Seketika Deon mendengus.

"Jangankan lo kerja, beresin rumah aja lo enggak sama sekali. Lo belum dewasa, lo masih manja Dea."

"Gue gak manja!" Dea berteriak tidak suka. Menatap kesal pada Deon.

"Di otak lo cuman ada Lova, hura-hura dan percintaan. Lo bahkan gak mikirin gimana capeknya bunda ngurusin kita, ngurusin rumah bahkan gimana caranya biar bisa bahagiain kita. Sedangkan lo, cuman mikirin pacar lo yang belum tentu bisa bahagiain lo selamanya. Sadar Dea!"

Deon bangkit dari duduknya, emosinya sudah semakin meluap bahkan tidak memikirkan ucapannya kali ini yang menyakiti Dea.

"Lo masih bocah, lakukan hal yang positif. Kalau bunda tahu lo sakit kaya gini, itu udah bikin bunda kesusahan,"

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang