20

380 14 0
                                    

Niatnya untuk pergi harus ia urungkan. Cekalan pada tangannya semakin membuat Dea tidak bisa pergi meninggalkannya seorang diri. Keadaannya tidak baik-baik saja bahkan luka yang terdapat pada tubuhnya beserta wajahnya harus mendapatkan perhatian lebih. Memang Dea sudah mengobatinya, tapi masih ada sesuatu hal yang harus ia lakukan— menenangkan.

Dea berjongkok, mensejajarkan tingginya lalu mengusap pundak laki-laki itu bermaksud untuk menenangkan.

"Lo harus istirahat. Kalaupun lo besok gak sekolah, gue bakal kasih tahu wali kelas lo buat izinin lo." Dea berucap lembut.

"Lo gak usah mikirin apapun, gak usah mengingat kejadian yang buat lo kaya gini dan gak usah mikirin ucapan gue barusan." Dea mengangkat kepala laki-laki itu, wajah yang menampakkan kelelahan tersirat kesedihan. Sudah seberapa jauh laki-laki ini menyimpan kesakitan yang nyatanya rasa sakit itu bukan hanya menyerang pada fisiknya namun batinnya mungkin sudah terguncang.

"Gue bakal nunggu lo sampe tidur. Pagi nanti gue delivery bubur, lo jangan berbuat apapun, masalah temen-temen gue bisa urus sendiri supaya mereka gak tahu keadaan lo." Langkah Dea untuk mengantarnya ke kamar berhenti, berbelok dahulu ke arah dapur untuk mengisi segelas air. Dan kembali melanjutkan tujuannya.

"Kenapa lo gak nginep aja?"

Dea melotot tidak terima. "Lo gila?!" Teriak Dea kencang menghasilkan kekehan kecil untuk laki-laki itu.

"Udah, lah. Lo sana cepetan tidur. Jangan bikin keputusan gue buat nungguin lo berubah."

"Iya. Marah-marah bisanya."

"Gimana gak marah, ini udah larut malam dan lo ganggu waktu tidur gue. Yang bener aja gue gak marah. Gila emang." Cerocos Dea ketika berhasil menempatkan dirinya di sofa.

"Seberapa lama lo nyerocos kaya toa tukang tahu bulat, gue gak peduli karena nyatanya sekarang lo masih peduli dan masih ada di sini."

Tanpa melihat ke arahnya, Dea berdecak di tempat. "Lo selalu memanfaatkan kelemahan gue supaya gak ninggalin lo. Lagian temen macam apa kalau gue ninggalin lo dalam keadaan yang... errrrggh, lo begitu mengenaskan." Dea sedikit bergidik ngeri.

Kendati kemudian, hanya jarum jam dan helaan napas yang terdengar. Dea yang awalnya terfokus pada ponselnya kini menoleh ke arah tempat tidur. Ia mengernyit heran mendapati laki-laki itu ternyata belum terlelap.

"Miki, lo belum tidur?" Miki menggelengkan kepalanya.

Dea tidak ingin bertanya lagi, ia pun tidak yakin bahwa ia bisa pulang ketika waktu sudah menunjukkan angka 2 dini hari. Alamat sudah dirinya jika nanti pulang pasti bundanya akan menyerangnya dengan beribu-ribu pertanyaan juga dengan rotan panjang di tangannya mendapati putrinya pulang pagi membawa kabur mobilnya. Padahal, Dian— ibunya, tidak mengijinkan. Dirinya untuk mengendarai mobil.

"Sekian kalinya lo bikin gue frustasi, Mik."

Dea mengusap wajahnya, sejujurnya ia sudah merasakan kantuk namun ia sedikit menahannya. Ia sedang menunggu balasan pesan dari Lova yang tak kunjung ada balasan sama sekali. Dea mengirim pesan tepat pukul 7 malam namun sampai sekarang tak ada notifikasi khusus yang terdengar.

Dea tahu, pukul 7 bukanlah jam tidur Lova. Mereka menjalin hubungan yang lama dan bukan rahasia lagi jika sebenarnya Lova mengidap insomnia, dan keburukan itu menular pada Dea, kecil kemungkinan Dea akan tertidur pukul 9 atau 10. Paling mentoknya tengah malah itu pun ketika Dea merasakan lelah yang sangat amat sangat.

Dan Dea mungkin tidak tahu, jika orang yang sedang ia tunggu untuk membalas pesannya itu, di waktu bersamaan sedang melakukan hal yang sama seperti dirinya. Di tempat yang berbeda, jauh di sana. Perhatian yang mungkin saja belum bisa Dea dapatkan atau merasakan darinya.

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang