Melupakan dua hari kebelakang dimana antara Dea dan Lova yang mulai mendingin hingga saat ini. Mereka yang bertemu hanya di kelas, tanpa berbicara dan tanpa bersitatap. Melakukan seolah tidak saling mengenal, justru hal itu menimbulkan pertanyaan besar bagi mereka yang merasakan kejanggalan diantara Dea dan Lova. Mereka yang biasanya bersiteru saling mencemooh, terkadang terlihat akrab tapi sekarang untuk say hallo saja rasanya tidak pernah terdengar.
Ada apa dengan mereka?
Itulah tanda tanya terbesar untuk teman sekelasnya.
"Lo lagi marahan sama Lova?" Dea yang mendengar pertanyaan yang dilemparkan untuknya hanya menggeleng tidak mau menanggapi.
"Lo kaya gak tahu mereka aja, Lin. Status aja emang temenan tapi giliran marahan kaya yang pacaran aja," sahut Rindu sambil menatap Dea sekilas yang kini tengah diam mencoret-coret buku di halaman belakangnya.
"Dasar lambe," dengus Dea.
"Kalian kalau ngomong tuh jangan ngawur, lagian kita juga tahu kan kalau sebenarnya Lova itu sukanya sama Anna. Dea yang notabennya teman Anna gak mungkin lah diam-diam suka sama Lova."
"Yaelah Tin, perasaan mana ada yang tahu. Lagian Dea juga berhak kali kalau emang punya perasaan sama Lova, siapa yang larang? dan setiap manusia juga punya hak untuk memiliki perasaan."
"Emang bener, sih. Tapi kesannnya kaya-"
"Teman makan teman maksud lo?" sengit Dea tidak tahan dengan ucapan teman sekelasnya yang tanpa tahu malunya membicarakan dirinya tepat di depannya. Tentu saja telinga Dea akan memanas apalagi dengan topik pembahasan yang begitu sensitif untuk Dea.
"Hmmm, bukan gue loh yang ngomong." Jawab Rindu sedikit memelan. Dea menghela nafas panjang.
"Kalian kalau cuman bisa menduga-duga tanpa tahu kebenarannnya seperti apa mendingan gak usah ngomong. Buang-buang tenaga dan bikin orang mubadzir dengerin omongan kalian."
"Maafin mereka Dea, maklumi ajalah mereka kan kaya gitu." Ujar Seli orang yang satu-satunya tidak merecoki Dea sebelumnya.
"Heran sama orang yang maunya cuman dimaklumi sama orang lain, berasa kaya orang gila yang harus dimaklumi sama orang normal."
Tentu saja ucapan Dea barusan menimbulkan keterkejutan bagi mereka yang merasa tersindir. Bukannya meredam situasi malahan keadaan semakin memanas.
"Maksud lo apa?!" teriak Rindu tidak terima. Ia menggebrak meja Dea dengan keras. Sedangkan Dea hanya mengernyitkan dahinya melihat kelakuan Rindu, dan sedikit tersenyum miring. Dea pun berdiri.
"Hanya berbicara seumpama," jawab Dea dengan datarnya.
Orang-orang yang memang berada di dalam kelas pun otomatis melihat ke arah dimana kericuhan terjadi. Dengan tanda tanya di kepalanya masing-masing. Apa yang terjadi?
"Lo bilang kalau gue orang gila?"
"Seli, apa tadi gue bilang kalau mereka orang gila?" Dea melempar pertanyaan pada Seli dan Seli menggeleng.
"see?" dengan angkuhnya Dea berucap.
Rindu kembang kempis, jelas sekali jika ucapan yang dimaksudkan Dea sebelumya tertuju padanya. Meski Dea tidak menyebut namanya tapi tatapan Dea yang mengarah pada Rindu ketika berbicara sudah menjadi pertanda jelas dan itu penyangkalan Dea yang tidakk bisa di terima oleh Rindu. Rindu tidak menyukai Dea sejak awal Dea masuk sebagai murid baru, apalagi Dea yang dengan mudahnya bergaul dengan Lova dan Gara. Padahal sejak dulu Rindu selalu berusaha agar bisa terlihat oleh Gara tetapi lelaki itu seolah benar-benar tidak menganggap Rindu ada, sedangkan Dea yang bermodalkan body kecilnya dan tampang yang biasa saja menurutnya bisa sedekat itu dengan Lova bahkan Gara sekalipun. Rindu benci.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_