22

359 15 0
                                    


Bangga akan dirinya yang semalaman menahan agar tidak menangis, sekarang Dea merasa bahwa dirinya tidak harus-menerus kalut akan kegelisahannya. Meskipun ia sempat merasa menyesal namun ia terus meyakinkan bahwa ini yang harus ia berikan pada Lova agar memberikannya efek jera bahwa Dea tidak mau terus-terusan mengalah dan menuruti perkataan Lova.

Dea menyambar tasnya, melaksanakan kewajibannya sebagai murid. Keluar dari kamar ia sudah mendengar beberapa percakapan yang Dea sadari cukup asing di telinganya. Mendekati asal suara dari sana Dea sadar bahwa ia sudah melewatkan sesuatu di pagi hari ini.

Lama terdiam menyaksikan hal apa yang ada di depannya. Akhirnya Dea mengambil langkah, mendekati mereka yang bisa Dea tebak akan tiba-tiba terdiam.

Keberadaan Bunda, Deon dan bahkan Dea tidak menduga bahwa Lova pun berada di sana bergabung dengan mereka. Namun hal itu bukan suatu masalah karena ada hal yang lebih menarik baginya. Sesosok pria paruh baya dan laki-laki yang sedikit lebih tua darinya.

"Selamat pagi."

Seruan Dea membuat banyak perhatian bagi mereka. Tanpa memperdulikan ekspresi apa yang mereka berikan atas kehadiran Dea, lantas Dea duduk ikut bergabung. Keadaan kembali menghening, sesekali ia bisa mendengar percakapan dari Deon dan laki-laki di seberangnya. Ternyata percakapan yang sempat tadi ia dengar sebelum ke sini adalah suara dari Deon dan laki-laki itu.

Dea menyudahi sarapannya. Sepintas ia melirik Lova yang sedari tadi menatapnya terus. Lalu kini ia mendapatkan Lova yang sudah menyodorkan segelas susu padanya. Sambil mengedikkan bahunya acuh, ia pun menerima segelas itu dan meneguknya tandas.

"Bunda selesai duluan, mau istirahat dulu. Kalian lanjutin aja." Kemudian berlalu.

Dea tersenyum miring sambil ekor matanya menatap kepergian bundanya.

"Sudah sekian lama, Nda. Kenapa masih gak bisa menerima semua ini?"

Meskipun terasa kasihan terhadap Bundanya, Dea tahu dengan dirinya yang memperlihatkan rasa kasihan pada Bundanya yang ada Bundanya akan terlihat menyedihkan.

"Sekolah kamu bagaimana, Dea?"

"Baik, Yah." Dea menjawab singkat.

"Syukurlah. Bagaimana dengan kamu Deon?"

"Baik juga, Yah. Masih ada satu semester lagi sebelum kami lulus," Deon menjawab dengan sopannya.

Pria paruh baya itu mengangguk, sedikit bangga dengan putranya itu. Prestasi yang didapatkan tak usah diragukan lagi meskipun kepintarannya jauh berbeda dengan Dea tapi sebagai seorang Ayah, beliau tidak harus membedakan rasa kasih sayangnya.

Benar, pria paruh baya itu ternyata Ayah Dea dan Deon.

"Yah, gak bakal nanya sama Lova, gitu?"

Ucapan Lova lantas membuat kekehan kecil dari mereka keluar terkecuali Dea yang tidak minat sama sekali.

"Ayah tau, selama kamu selalu bersama Dea kamu akan baik-baik aja. Benar bukan?" Terdengar menggoda sebenarnya tetapi Lova senang. Ia tersenyum lebar.

"Ayah tahu aja. Tapi Ayah harus tahu sekarang anak Ayah lagi ngambek sama Lova, kira-kira Lova harus ngapain biar dia bisa manja lagi ke aku, Yah?" Lova memandang Dea yang sama sekali tidak menatapnya.

"Benar itu Dea?"

Dea tidak menjawab, ia memalingkan wajahnya.

"Kayanya benar. Kalau menurut Ayah coba ajak dia kuliner pasti baik lagi."

"Ayah bener. Dea kan suka makan makanya sekarang pipinya ngembang gitu. Tapi, Yah..."

"Apa lagi Lova?"

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang