36

312 11 0
                                    

Siapa yang akan menduga jika seseorang yang tidak disangka-sangka kehadirannya kini malah berdiri jelas di depan mata. Dea mengerjap beberapa kali, memindahkan dari satu arah ke arah yang lainnya. Entah Dea yang kurang bereksplorasi atau memang ini pertama kalinya ia bisa melihat sesuatu yang membuat Dea tercengang.

"Kalian?"

Sekali lagi Dea mengerjap untuk memperjelas penglihatannya.

"Kalian kembar?"

Dea menoleh pada Maharani yang lebih dulu menanyakan hal itu. Dea masih ingat siapa namanya.

Lova...

Namun masalahnya, Dea tidak bisa memastikan siapa yang sebenarnya bernama Lova. Apakah ia yang berdiri tepat di depannya atau laki-laki yang berdiri dekat dengan Maharani?

Wajah itu terlalu mirip sampai Dea tidak bisa membedakannya.

"Gue Lova. Dan di samping lo itu Gara. Maaf kalau wajah dia sedikit garang." Jelas Lova memelan di akhir ucapannya.

Dea manggut menyadari salah satu dari perbedaan yang kini terlihat jelas antara dua laki-laki itu. Yang disebut sebagai Gara itu memang terlihat lebih galak, raut wajahnya dengan tatapan sedikit tajam dan postur tubuh tegapnya, berbeda jauh dengan Lova yang terlihat selengean dan selalu mengumbar senyum.

"Berasa mimpi gue lihat secara langsung manusia seperti kacang terbelah dua. Mirip banget."

Lova tergelak sedangkan Gara malah melengos.

"Kita anak baru di sini dan kalian tahu hal yang paling sulit buat kita itu sama sekali gak ngerti bahasa daerah sini." Maharani mengangguk mengerti dan Dea ia masih diam tidak tahu harus bagaimana.

"Tapi tadi gue denger kalian banyak ngomong pake bahasa indonesia dan mau gak mau kita nyamperin kalian." Lova melirik Gara sedikit. "Tapi sebenernya gue yang maksa dia buat ikut gue." Lova malah berbisik sambil menunjuk pada Gara membuat Maharani terkekeh.

"Sebenernya gue juga gak terlalu bisa pake bahasa bali makanya gue sering ngomong sama dia bahasa indonesia."

"Lo bukan orang asli sini?" Maharani mengangguk. "Jakarta. Gue lahir di sana dan semenjak umur gue 13 tahun gue pindah ke sini dan ketemu dia. Gue gak bisa bahasa sini karena gue emang terlalu sering pake indonesia dan jarang buat mencoba bahasa sini."

Dea menatap jengah. Maharani memang seperti itu, temannya ini terlalu terbuka terhadap siapa pun. Contohnya sekarang, dengan laki-laki yang baru beberapa menit ia kenali Maharani sudah berani bercerita panjang lebar.

"Omong-omong, nama gue Maharani. Salam kenal buat kalian berdua." Maharani terlihat antusias. Sepertinya ia senang mendapatkan teman baru dan tentu saja bisa berbicara lebih bebas.

Lova tersenyum. Meski sedari tadi ia berbicara dengan Maharani tapi matanya tak bisa lepas dari gadis yang hanya membisu seolah tidak tertarik. Padahal, awal ketika kehadirannya bersama Gara tadi gadis itu terlihat sekali bagaimana keterkejutannya.

"Oh iya. Kenalin nama di—"

"Gak perlu." Potong Lova cepat. "Gue pengen tahu nama dia langsung dari mulutnya, bukan lewat orang lain."

Dea menyipit. Apa maksudnya? Jangankan untuk menyebutkan namanya Dea malah tidak ingin berlama-lama disatu atmosfer dengan Lova.

"Dan jangan harap." Ketus Dea sambil beranjak. Tidak peduli perkataannya yang sedikit angkuh, Dea berlalu begitu cepat.

"Anak itu, giliran sensi keluar dah mulut macannya." Maharani berdesis.

"Tapi lucu."

***

Sore ini hujan, sudah berlangsung dua pulah menit lamanya. Selama itu pula Dea hanya bisa duduk terdiam menyaksikan rintikan hujan itu yang semakin deras, dibarengi dengan angin, lagi-lagi Dea menghela napasnya panjang.

Dea membayangkan jika dirinya sedang berada di rumah. Rebahan sambil menonton televisi dengan beberapa toples cemilan kesukaannya. Atau aroma coklas panas yang dibuatkan oleh bundanya. Selain itu suara gitar dari teras rumah yang dimainkan oleh Deon dan ayahnya.

Rutinitas yang selalu mereka lakukan jika sang ayah sedang kebetulan berada di rumah.

"Gue masih di sekolah, gak bisa jemput lo."

Ucapan terakhir Deon sebelum menutup sambungannya. Mau tidak mau Dea harus menunggu hujan reda karena jarak dimana ia berada dengan rumahnya cukup jauh.

Malang sudah.

Satu hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah memangsang earphone ke kedua telinganya. Perpaduan yang sangat pas antara musik klasik dan suara hujan untuk membuat mata Dea perlahan tertutup.

Sedikit lagi... sedikit lagi hingga Dea tertidur, tapi suara deruman motor yang begitu keras menganggu Dea. Mendongakan kepalanya, fokus kemana asal suara itu dimana seorang laki-laki dengan bergegas turun dari motornya. Nampaknya ia sudah basah kuyup dan menurut Dea sangat percuma jika sekarang ia berteduh. Kenapa ia tidak melanjutkan perjalanannya?

What? Lagi?

Mata Dea melotot setelah laki-laki itu melepaskan helm full face yang ia kenakan. Kedua mata mereka bertubrukan hinggan lima detik lamanya laki-laki itu memutuskan untuk berpaling. Dea terkesiap dan kembali memasang wajah datarnya.

"Kayanya bukan dia." Dea membatin.

"Dengan ciri-ciri yang cuek, banyak diem dan tatapan dalamnya. Kayanya itu Gara."

Dea menebak dengan apa yang ia rasakan sekarang. Dan tebakannya itu benar karena hanya dengan merasakan sikap laki-laki itu. Mungkin Dea tidak bisa membedakan dengan melihat wajah, tapi dengan sikapnya Dea bisa. Itu yang membuat Dea yakin jika laki-laki yang tidak jauh darinya adalah Gara bukan si bocah selengean itu.

Melihat Gara yang terdiam dan berdiri mematung membuat Dea berfikir apakah laki-laki itu tidak pegal?

"Mau duduk?" Dea memberanikan diri bertanya. Gara menatap Dea lekat, tidak lama ia berpaling tanpa satu katapun.

Hal yang membuat Dea kesal setengah mati. Yang satu menyebalkan, yang satunya lagi lebih menyebalkan. Dea mendengus, menyesali dirinya yang so soan mengajak Gara berbicara.

Tak mau melihat Gara lebih lama, pandangan Dea kembali lurus. Hujan masih sama saja seperti tadi bahkan mungkin akan reda cukup lama.

Dea berdengus pelan setelah apa yang ia lihat barusan. "Selain wajah mereka sama, ternyata motornya juga sama pas pertama kali gue ketemu sama si bocah itu, ck."

To be continue.

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang