⬆️Sedih Tak Berujung🎵⬆️
⬆️Cek mulmed⬆️Hallo.
Welcome back to my lapak.Mau nanya nih. Tau permen Relaxa, kan? Ada gak sih kaya gue yang dulunya pas masih kecil gue sering ngomong becandaan gitu kalau Relaxa singkatan dari Rela diperxosa?
Dan sekarang ngakak aja kalau diinget-inget.
Yaudah, gitu.
***
Orang tua jaman dulu sering banget bilang kalau kita gak boleh tidur sebelum magrib. Pamali katanya, dan masih banyak lagi dampak negatifnya.
Terbukti sekarang. Dea merasa kepalanya sangat berat dan pening, selain itu ia juga merasa kesal tanpa sebab. Padahal tidak ada hal yang membuatnya merasa demikian. Dea sudah sadar tapi ia masih merasa jika nyawanya tidak mau berkumpul pada tubuhnya. Selama itu Dea melamun, otaknya menyuruh untuk bangkit tetapi Dea merasa kesal dan lagi-lagi entah karena apa alasannya.
"Dea udah sholat?"
"Mau, Nda."
"Cepet loh, ini mau akhir."
Dengan berat hati Dea harus berjauhan dengan kasurnya. Berjalan sempoyongan benar-benar membuat emosi Dea memuncak. Ada apa dengan dirinya? Dea harus memastikan mulai sekarang ia tidak akan lagi tidur di jam-jam rawan.
Setelah melaksanakan kewajibannya, Dea keluar dari kamar. Perutnya sudah keroncongan, Dea baru sadar ternyata setelah pulang sekolah ia belum makan sama sekali.
"Loh. Ko di sini?" Tanya Dea sedikit kaget. "Dari kapan?"
"Dari tadi. Bangun tidur lo?"
"Enggak, baru selesai sholat gue."
"Pijitin kepala gue dong, pusing nih." Otoriter sekali memang jika Dea sudah menginginkan sesuatu hal. Dea duduk di sisinya, membuat posisinya membelakangi.
"Aaawww. Sakit Lova! Gue nyuruh lo pijitin bukan malah jambak rambut gue."
"Enak banget lo nyuruh-nyuruh gue."
"Sekali-kali lah. Beneran gue pusing banget berasa mau copot ini kepala."
"Mau gue bantu?"
Dea berbalik. Memeluk bantal kecil yang ada di sana. Dea baru menyadari jika pakaian yang Lova kenakan sedikit mencolok. "Heh, tumbenan pake warna merah."
Setahu Dea dari cerita yang ia dengar dan pengalamannya bersama Lova, Lova memang sedikit anti dengan warna tersebut berlainan dengan Gara yang lebih menyukai warna-warna terang khususnya merah.
"Dipaksa!" Ketus Lova terlihat kesal.
"Bunda Rima pasti gak bakal bisa maksa lo buat pake ginian, kecuali—"
"Di belakang lo!"
Dengan cepat Dea berbalik. Matanya langsung melebar hampir copot.
"Maharani lo di sini? Ko gak ngasih tau gue, sih?" Teriak Dea langsung menghampirinya.
"Lo mana mungkin bisa tahu kalau dari sore lo molor terus."
"Kalian sejak kapan?"
"Sejak viralnya si Pou."
"Pantesan pada bau toh kalian melihara tai."
"Omongannya itu ya masih aja gitu" jengah Maharani.
Dea tertawa. Maharani sudah berbeda dari yang ia kenali dulu, kecuali bawelnya yang tidak bisa hilang meskipun sedikit berkurang. Pembawaan Maharani lebih tenang, tubuhnya semapai dengan rambut yang semakin tebal dan rupanya gadis itu sudah mewarnainya dengan warna coklat terang membuat aura Maharani semakin bercahaya. Kulit putih susunya tidak berubah, memang Maharani begitu menjaga sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_